Jumat, 01 Agustus 2008

DARI MANA KITA MEMULAI

oleh at tighaliy

Umat Islam adalah pendukung amanah, untuk meneruskan Risalah dengan dakwah, baik secara kolektif ataupun secara individu, sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Firman Allah dalam Ali Imron, 110, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” Menurut M. Natsir, dakwah adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap muslim dan muslimah. Dakwah dalam arti amar maruh nahi mungkar, adalah syarat mutlaq bagi kesempurnaan dan keselamatan hidup masyarakat.

Pertanyaan besar bagi para juru dakwah adalah, dari mana harus memulai dakwah itu. sebuah pertanyaan yang lazim bagi mereka yang memiliki semangat tinggi untuk merubah masyarakat menuju ‘amar ma’ruf nahi mungkar. Apa yang harus dilakukaan pertama kali. Siapakah yang terlebih dahulu yang harus didakwahi, apakah orang yang memiliki pengaruh seperti pejabat, artis, pemain sepakbola, atau bahkan preman besar yang memiliki banyak anak buah dan pengikut? Atau juga dimulai dari siapapun yang memang mau dan siap menerima dakwah kita? Siapapun orangnya, tak menjadi masalah ketika kita berhasil mendakwahinya, atau setidaknya berusaha untuk melakukan perubahan terhadap orang tersebut, yang penting jangan sampai kita tidak melakukan dakwah.

Jika melihat urutan wahyu yang turun, mungkin dapat dijadikan gambaran langkah-lagkah teknis pelaksanaan dakwah itu sendiri. Wahyu yang pertama turun adalah suar Al-‘Alaq, ayat 1-5 (Ash Shidiqy,1992). “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakanmanusia dari ‘alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah, Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya

Nabi yang ummi (tidak pandai baca tulis) justru diberi perintah untuk membaca. Quraish Shihab menjelaskan, kata iqra terambil dari akar kata yang berarti “menghimpun”. Sehingga tidak selalu harus diartikan “membaca teks tertulis dengan aksara tertentu”. Dari “menghimpun” lair aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca, baik teks tertulis mapun tidak. Al hasil objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya. Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini bukan sekedar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak diperoleh kecuali mengulang-ulangi bacaan, atau membaca hendaknya dilakukan sampai batas maksimal kemampuan, tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang bacaan Bismi Rabbika (demi karena Allah) akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru walaupun yang dibaca itu-itu juga. “membaca dalam aneka maknanya adalah syarat pertama dan utama dalam pengembangan ilmu dan teknologi, serta syarat utama membangun peradaban”

Wahyu yang kedua turun adalah Surat Al Mudatstsir, 1-10 (Ash Shidiqy,1992), “Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan, dan Tuhan-mu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kami memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak, dan untuk (memenuhi Perintah) Tuhan-mu bersabarlah, Apabila ditiup sangsakala, maka waktu itu adalah waktu (datangnya) haru yang sulit, bagi orang-orang kafir lagi tidak mudah.

Qum faandzir, bangun dan berilah peringatan. Setelah kita “membaca”, maka kita tak boleh diam, kita harus memberi peringatan, perubahan perlahan demi perlahan. Jangan sampai kita terjebak dalam kehidupan yang penuh ketidakpedulian dengan lingkungan. Perubahan dilakukan dengan seksama, konstruktif, dan bertahap. Perubahan seperti ini sangat mungkin terwujud jika proses “membaca” memang benar-benar dilakukan secara komprehensif sehingga setiap informasi yang menjadi alasan, dorongan, dan tujuan bertindak menjadi jelas.

Tapi dari mana memulai perubahan itu, jika kita hubungakan pada surat Asy syu’ara ayat 214 yang turun setelah Adl Dluha dan Al Hajr 94 (Ash Shidiqy,1992), yaitu Waandzir asyiiratakal aqrobiina, Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. Dari ayat ini, jelas terlihat bahwa perubahan itu dimulai dari kerabat terdekat. M. Natsir dalam Fiqhud-Da’wah menterjemahkan ayat ini sebagai berikut, “Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat”, oleh karena itu menjadi pertanyaan besar bagi mereka yang memiliki kualitas sebagai juru dakwah yang terkenal di masyarakat luas namun bermasalah dalam lingkungan keluarganya sendiri, ataupun disekitar tetangga-tetangganya.

Memang banyak pembelaan dan pembenaran untuk ‘mengabaikan’ kerabat terdekat dalam berdakwah, antara lain adalah karena adanya skala prioritas dalam menentukan objek dakwah, mad’u, dimana ketika kerabat dinilai kurang mendukung jika dibandingkan dengan objek dakwah yang dinilai memiliki potensi lebih baik untuk pengembangan dakwah, maka dibolehkan untuk mendahulukan objek dakwah yang lebih berpotensi itu.

Namun, alangkah lebih baiknya jika kita memperhatikan surat Abasa, Menurut riwayat, pada suatu ketika Rasulullah s.a.w. menerima dan berbicara dengan pemuka-pemuka Quraisy yang beliau harapkan agar mereka masuk Islam. Dalam pada itu datanglah Ibnu Ummi Maktum, seorang sahabat yang buta yang mengharap agar Rasulullah s.a.w. membacakan kepadanya ayat- ayat Al Quran yang telah diturunkan Allah. tetapi Rasulullah s.a.w. bermuka masam dan memalingkan muka dari Ibnu Ummi Maktum yang buta itu, lalu Allah menurunkan surat ini sebagai teguran atas sikap Rasulullah terhadap ibnu Ummi Maktum itu.

Terlepas dari masalah siapa yang harus didahulukan diberikan peringatan (dan juga pengajaran), ada hal yang lebih penting (menurut saya), adalah bahwa juru dakwah tidaklah cukup hanya memberikan pengajaran dengan lisannya saja. Tapi setiap juru dakwah sebaiknya memberikan contoh langsung, atau teladan yang baik. Lihat saja apa yang dicontohkan Rasulullah sesampainya di Madinah (konon belum memasuki kota) ketika mendirikan masjid di ‘quba, masjid pertama yang didirikan di zaman Islam. Beliau berhenti dengan tidak banyak bicara, tapi bekerja. Beliau mulai dengan mengangat batu besar hingga terhuyung-huyung. Salah seorang sahabat berkata, “Ya Rasululah, biarkanlah, serahkanlah kepadaku mengangkatnya! Rasulullah menjawab, “Tidak, ambil (saja) batu lain yang seperti itu”. Ada sindiran yang menarik untuk para juru dakwah, jika peringatan dari Allah hanya cukup disampaikan lewat lisan saja, maka cukuplah malaikat saja yang melakukan, tidak perlu ada nabi.

Hal yang tidak kalah penting adalah bagimana menumbuhkan iman objek dakwah itu sendiri. Jelas-jelas Al Quran menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Paksaan justru akan membuat orang menjadi hipokrit dan akan semakin banyak menghasilkan pemain-pemain sandiwara yang bersedia menurut dan tunduk, layaknya kerbau yang ditusuk hidungnya untuk dimasukkan tali pengendali. Menurut M. Natsir, Iman seseorang hanya dapat ditumbuhkan dalam suasana bebas, sunyi dari tekanan dan paksaan. Memang itulah pembawaan fithrah manusia. Sayidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “hati bila dipaksa menjadi buta”.

Astaghfirullah al ‘adzhim

Wallahu a’lam bishshowab

JAS MERAH!!!

oleh at tighaliy

Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Konon atau sekedar konon itulah salah satu pesan dari seorang Soekarno, orang yang dianggap melepaskan bumi nusantara dari penjajahan negeri asing dan memasuki era kemerdekaan..kenapa konon atau sekedar konon, karena memang saya mendapatkan informasi itu dari guru sejarah waktu SMP, katanya ada di buku, dan saya nurut aja, lagian mana mungkin sih guru sejarah boong,..tapi jujur saja, mpe sekarang saya belum liat langsung tulisan itu (JAS MERAH)…

Sejarah, ya sejarah…catatan aktivitas manusia yang telah lalu dari berbagai tempat dan waktu. Dari catatan sejarah pula kita tahu pertumbuhan budaya, kebijakan para pemimpin, faktor maju mundurnya suatu bangsa dan lain-lain…mungkin karena beberapa faktor di atas lah, sejarah di mata ahli sejarah menjadi amat sangat penting.. Konon atau sekedar konon, walaupun sejarah adalah catatan aktivitas manusia yang telah lalu, namun bisa digunakan untuk kepentingan masa depan…lho begimane caranye??? Katanya sih, karena aktivitas manusia ampir mirip-mirip ama yang sebelum-sebelumnye...meneketehe…hehehe

kita bisa baca dari catatan sejarah, bagaimana sebuah negeri besar dan kuat bisa mundur kemudian hancur di awali konfik internal.. silakan di lihat di History of Arabs, Philip K Hitty, bagaimana khilafah di beberapa zaman harus carut marut akibat perebutan kekuasaan (kursi khalifah), atau kita tengok sejarah Majapahit yang harus terlena dalam pertikanan Gadjah Mada dan Hayam Wuruk..maka hebatlah pemegang imperium modern saat ini untuk mendapatkan daerah jajahan baru, daripada melakukan invasi secara frontal, lebih baik menggaet musuh internal untuk kemudian diadudombakan secara berkala sambil pembentukan opini akan pentingnya perubahan tatanan kekuasaan… ketika konflik internal telah terjadi, maka dengan mudah sang pemilik imperium menguasai negeri jajahan baru meski dengan satu lentikan jari tangan….wah..wah… hiperbola banget ya…

dengan sejarah pula kita bisa melihat seseorang mulia atau hinanya seseorang. Mulia karena dianggap telah banyak memberikan kebaikan, dan hina ketika dia memiliki komplikasi penyakit keburukan…ini bisa dilihat dari masyarakat jahiliyah (dan masih banyak di masyarakat lainnya meskipun Islam-Muhammad telah dikenal), bagaimana faktor kemuliaan keturunan telah amat kuat membentuk sistem sosial yang ada. Kemulian seseorang diturunkan tanpa kecacatan sedikit pun kepada anak-anaknya. Kemulian ini bisa ditelusuri dari mereka ahli syair yang selalu menceritakan kebaikan nenek moyangnya pada zaman jauh sebelumnya…silakan baca Toshihiko Izutsu, Konsep-konsep Etika Religius dalam Quran, untuk melihat bagaimana versi mulia atau hina orang arab jahiliyah ini..

dari sejarah pula kita bisa menikmati beberapa warisan pengetahuan, antara lain ilmu rijalul hadits, atau juga dinamakan ilmu tarikh ar-ruwwat (ilmu sejarah perawi), yaitu ilmu yang diketahui dengannya keadaan setiap perawi hadits, dari segi kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, orang yang meriwayatkan darinya, negeri dan tanah air mereka, dan yang selain dari itu yang ada hubungannya dengan sejarah perawi dan keadaan mereka…dengan ilmu ini pula dapat ditentukan, apa seseorang dengan gelar ‘sahabat’ bisa diterima atau tidak periwatannya..

itu sedikit dari fungsi sejarah, dan tentunya, sadar tidak sadar, kita pun hidup dalam sejarah, yang bisa diartikan kita pun terpengaruh dari sejarah-sejarah yang pernah kita dengar… kasus kecil yang lagi hot, yang digosok makin sip,..bagaimana kontoversinya (atau diopinikan kontroversi) gelar ‘pahlawan’ untuk Soeharto..buat mereka yang membaca sejarah, dengan cara bacanya menyatakan Soeharto itu baik, banyak jasanya, dan bermoral, maka Soerharto layak untuk mendapat gelar pahlawan. Namun bagi mereka yang membaca sejarah, dengan cara bacanya menyatakan bahwa soerhato itu jahat, jasanya adalah meninggalkan pilar kejahatan HAM dan KKN, tidak bermoral, maka pahlawan tak layak disematkan pada Soeharto, sekalipun gelar itu dari manusia..(apa lagi dari pandangan Tuhan!!!)…

melihat fungsi sejarah yang amat vital (dan juga ilmu lainnya), sekarang timbul pertanyaan. Siapakah yang menulis sejarah itu??? Apa bisa dipercaya?..dalam muqoddimah ibnu Khaldun, penulisan sejarah membutuhkan sumber yang beragam, dan pengetahuan yang bermacam-macam. Sejarah juga membutuhkan perhitungan yang tepat, dan ketekunan. Kedua sifat ini membawa sejarahwan pada kebenaran, dan menyelematkannya dari berbegai ketergelinciran dan kesalahan. Sebab apabila catatan sejarah mereka (sejarahwan) hanya didasarkan pada bentuk nulikan, dan tidak didasarkan pada pengetahuan yang jelas tentang prinsip-prinsip yang ditarik dari kebiasaan, tentang fakta=fakto poltik yang fundamental, tentang watak peradaban, dan tentang segala hal-ihwal yang terjadi dalam kehidupan sosial manusia, seta, selanjutnya, apabila sejarah tidak diperbandingkan antara materinya yang ghaib dengan materinya yang nyata, antara yang baaru dengan yang kuna, pasti akan ditemukan batu penghalang, ketergelinciran, dan kekhilafan di dalam berita sejarah tersebut.

Masih menurut ibnu khaldun, keterangan sejarah, menurut wataknya, bisa dirembesi dengan kebohongan. Faktor yang menyebabkan antara lain:

Pertama, adanya semangat terlibat (tasyayyu Ar, partisanship Ing) kepada pendapat-pendapat dan mazhab-mazhab. Apabila pikiran dalam keadaan netral dan normalnya menerima informasi, diselidikinya dan dipertimbangkannya informasi itu, sehingga ia dapat menjelaskan kebenaran yang terdapat di dalamnya. Namun, apabila pikiran dihinggapi semangat terlibat terhadap suatu pendapat dan kepercayaan, maka dengan serta merta pikiran akan menermia setia informasi yang menguntungkan pendapat atau kepercayaanya. Oleh karena itu, semangat terlibat merupakan penutup terhadap pikiran, mencegahnya untuk mengadakan kritik dan analisa, dan membuat pertimbangannya condong kepada kebohongan. Akibatnya kebohongan itu diterima dan dinukilkan.

Kedua, terlalu percaya kepada orang yang menukilkan.

Ketiga, tidak sanggup memahami maksud yang sebenarnya. Maka banyak sekali para penukil tidak mengetahui maksud sebenarnya dari observasinya, atau segala sesuatu yang ia pelajari hanya menurut pikiran dan pendengarannya saja.

Keempat, asumsi yang tak beralasan terhadap kebenaran suatu hal, ini sering sekali terjadi. Pada umumnya asumsi itu muncul dalam bentuk terlalu percaya terhadap kebenaran para penukil.

Kelima, ketidaktahuan tentang bagaiaman kondisi-kondisi sesuai dengan realitas, disebabkan kondisi-kondisi itu dimasuki oleh ambisi-ambisi dan distrosi-distorsi artifisial (penyimpangan yang dibuat-buat). Sang informan puas menukilkan seperti apa yang diliatnya, bahkan karena distorsi artfisialnya itu dia sendiri tidak mempunyai gambaran yang benar tentang kondisi-kondisi tersebut..

Keenam, adanya fakta bahwa kebanyakan orang cenderung mengambil hati orang-orang yang berpredikat besar dan orang-orang yang berkedudukan tinggi, dengan jalan memuji-muji, menyiarkan kemasyhuran , membujuk-bujuk, menganggap baik seala perbuatan mereka dan memberi tafsiran yang selalu menguntungkan terhadapt semua tindakan mereka. Hasilya informasi yang dibpublikasikan dengan cara demikian menjadi tidak jujur, dan menyimpang dari yang sebenarnya. Manusia amat senang dipuji, dan manusia pada umumnya mencari kesenangan dunia dan mencari segala jalan untuk mencapai kesengangan itu, seperti kehormatan dan kekayaan. Pada umumnya mereka tidak mencari perbuatan-perbuatan yang mulia atau mencoba mendapatkan kebaikan orang-orang yang mulia.

Ketujuh, ketidaktahuan tentang watak berbagai kondisi yang muncul dalam peradaban. Setiap peristiwa baik yang berhubungan dengan esensi maupun yang dihasilkan oleh perbuatan, pasti mempunyai watak khas untuk esensi persitiwa tersebut dan juga untuk kondisi-kondisi peristiwa yang terdapat didalamnya. Oleh karena itu, apabila si pendengar mengetahui watak peristiwa-peristiwa, dan keadaan serta syarat yang dibutuhkan di dalam dunia eksistensi, pengetahuan itu akan membantunya untuk membedakan yang benar dari yang tidak benar di dalam pemeriksaan informasi secara kritis.pengetahuan ini jauh lebih efektif dipergunakan dalam pemeriksaan informasi yang kritis dariapada aspek lain yang ada hubungannya dengan hal tersebut..

Walaupun sejarah bisa bohong, bukan berarti kita pun dengan serta merta meninggalkan setiap informasi, namun pula diingatkan untuk tidak selalu percaya secara mutlak kepada kebenaran tanpa pernah menganalisisnya dengan kritis..

Kita juga sebaiknya memberi apresiasi kepada mereka yang menamakan dirinya atau diberi nama oleh kelompok lain sebagai ingkar-sunnah, karena telah kritis dengan polemik benar tidaknya ,shahih tidaknya sunnah, walau mereka mengambil jalan untuk tidak percaya sepenuhnya kepada as-Sunnah…buat kita bukan menghakimi, tapi seharusnyalah melakukan kontak diskusi dengan mereka (ingkar-sunnah), karena ulama jaman dahulu telah memberikan jalan untuk menilai kebenaran suatu hadits, dan metode inilah yang kita perkenalkan pada mereka..

Coba kita kritisi dan telaah pendapat jalaludin rakhmat, dalam Al Mustofa, Studi Kritis Tarikh Nabi,..yang saya pahami dari cara saya membaca yang tentunya terbatas, bagaimana kondisi politik sosial yang berlangsung juga mempengaruhi penilaian benar dan tidaknya setiap hadits, layak atau tidaknya seorang perawi untuk meriwayatkan hadits…

Sejarah memang bisa bohong, tapi bukan berarti kita kemudian sekedar mengikuti pendapat ulama terkenal, atau ulama yang kita kenal secara mutlak dan serta merta menyampingkan pendapat ulama lainnya…

Sejarah memang bisa bohong, dan itulah kenapa kita harus selalu iqra’ iqra’…dan iqra’…, terus baca, kumpulkan berbagai informasi dan mengambil yang terbaik diantaranya.. apa pun hasil kesimpulan itu, tak pula menjadikan kita berhak menilai orang lain yang tak sejalan adalah salah…

Ada ungkapan yang sering dinisbahkan kepada Abu Hanifah "Hum rijal wa nahnu rijal" (mereka adalah expert, tapi kita juga expert). Ini berarti bahwa dalam tataran dialogis para ulama memposisikan level mereka ada pada level yang sama, makanya iklim dialog berlangsung terus dan dan hasilnya sangat produktif, terbukti khazanah intelektual Islam menjamur subur pada masa Islam klasik.

Sikap saling menghargai juga dapat dilihat dari ungkapan Abu Hanifah (kira2 begini)"Ra'yuna shahih yahtamilul khatha', wa ra'yukum khatha' yahtamilush shahih" (pendapat kita benar [menurut kita] tapi ada kumungkinan salah, dan pendapat mereka salah [menurut kita] tapi ada kemungkinan benar).

So, kita harus berani mulai menyisakan

JENIS-JENIS KEBAIKAN

oleh at tighaliy

Dalam al Quran terdapat beberapa kata yang diduga sinonim. Yaitu kata-kata yang berbeda namun memiliki arti yang identik atau sama. Kata yang diduga sinonim ini antara lain kata-kata yang berarti baik, yaitu : ma’ruf, khoir, hasan, dan birr. Ketiga arti ini memiliki arti yang sama yaitu baik/kebaikan jika dilakukan penterjemahan al Quran ke dalam bahasa Indonesia.

Kata ma’ruf berasal dari arif yang berarti diketahui/dikenal, hal ini menunjukkan (menurut saya) kebaikan yang ma’ruf adalah kebaikan-kebaikan yang telah diketahui/dikenal secara umum, atau kebaikan yang pelakunya sendiri telah mengetahui bahwa hal itu adalah kebaikan.

misalnya dapat ditemui dalam surat Ali Imron 110


Artinya : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”

Jika saya boleh menafsirkan, kebaikan-kebaikan apa yang harus diseru dalam amal ma’ruf nahyi munkar ini, yaitu kebaikan-kebaikan yang telah diketahui oleh orang-orang atau pelaku kebaikan itu sendiri. Untuk itu bagi siapapun yang memposisikan dirinya sebagai juru dakwah, bijaksanalah dalam memberikan dan menyeru ajakan-ajakan kebaikan. Setiap orang berbeda kapasitasnya, oleh karena itu kebaikan yang diserukan alangkah lebih baiknya jika disesuaikan dengan orangnya.

Jika seorang preman pasar mengetahui kebaikan itu sekedar tidak memukul ketika meminta uang dengan paksa, maka seru lah ia ketika meminta uang jangan disertai pemukulan. Jika kebaikan-kebaikan ini telah dibiasakan, akan ada peluang, preman pasar ini mengetahui jenis-jenis kebaikan yang lain, misal bertutur kata lemah lembut, sekalipun dalam hal meminta uang, karena siapa tahu, atau kita tak pernah mencari tahu, bahwa dalam benaknya preman pasar itu suatu pekerjaan.

Kebaikan selanjutnya berasal dari kata khoir, asal kata khoir dekat dengan khiyar, yang berarti pilihan. Oleh karena itu khoir, merupakan kebaikan-kebaikan yang dalam pelaksanaanya hasil dari memilih. Kata khoir dapat dijumpai dalam al Quran misalnya surat ali Imron ayat 104.


Artinya : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”

Ketika preman pasar tersebut telah dibiasakan dengan kebaikan-kebaikan yang diketahuinya atau dikenalnya, maka ia kini berada dalam pengetahuan bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk berbuat baik atau sebaliknya. Jika ia senantiasa diseru secara berkesinambungan, maka ia tetap akan berada dalam kebiasaannya. Sebuah kebaikan kini dibebaskan pilihannya kepada sang preman apakah akan meminta uang dengan tutur kata yang lemah lembut atau sama sekali tidak meminta uang. Selanjutnya sangat mungkin ia memilih untuk tidak lagi meminta uang karena kasih sayangnya yang merupakan hasil dari pembiasaan bertutur kata lemah lembut ketika meminta uang.

Kebaikan lain yang ada dalam al Quran menggunakan kata hasan. Hasan ini dekat dengan maslahat, yaitu kebaikan yang memberikan manfaat tidak hanya untuk dirinya tapi sekelilingnya. Kata hasan bisa ditemukan misalnya pada surat Al Baqoroh 195


Artinya : “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”

Jika preman pasar tadi telah menghentikan aksi meminta uangnya, maka jika ia akan berbuat baik, maka tak sekedar menghentikan meminta uang sekalipun dengan tutur kata yang lemah lembut. Sang preman kini berusaha lebih legal, misal ia memberikan keamanan dari pencurian, pencopetan, penjambretan dan segala jenis tindak kriminal di pasar. Menjadi legal ketika jasa pengamanan ini merupakan hasil kerjasama dan kesepakatan telah ditulis hitam di atas putih, baik tugas dan kewajiban preman pasar maupun haknya, yaitu gaji. Singkat kata preman pasar kini menjadi satuan kemanan pasar.

Kebaikan lain yang ada dalam al quran adalah birrun. Birrun ini merupakan kebaikan dimana pelaku kebaikan tak lagi mencari keuntungan bagi dirinya ketika ia berlaku baik. Kata birrun dapat ditemukan misalnya pada surat ali Imron ayat 92.

Artinya : “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”

Jika preman pasar telah teguh komitmen dengan pekerjan barunya, satuan kemanan pasar. Maka ia tak lagi memikirkan keuntungan bagi pribadinya. Gaji bulanan ia pandang penting tapi bukan yang utama. Ia kini berani ketika harus membela wanita tua pengunjung pasar ketika di todong oleh preman pasar temannya, sekalipun ia harus menjadi pengganti ketika sebuah pisau lipat menancap ke jantungnya. Memang benar tak ada keuntungan bagi sang preman pasar (yang kini menjadi satuan keamanan pasar) ketika ia memilih melindungi wanita tua dari ancaman kematian, bahkan kematianlah yang kemudian menimpa dirinya. Tapi bagi dirinya mempertahankan hak hidup orang lain adalah kebaikan meski harus kehilangan kehidupannya.



Wallahu ‘alam bishsowab

Sejarah mengajarkan….

oleh at tighaliy

Dalam Muqoddimah Ibnu Khaldun, secara eksplisit (setidaknya interpretasi saya), ada sebuah pertanyaan besar, bagaiamana manusia bisa memetik hikmah dari sejarah, bagaimana untuk kemudian manusia diharapkan tidak mengulangi kesalahan yang sama sehingga ikut menorehkan tinta merah (darah) dalam sejarah untuk anak-cicitnya...

Dalam al Quran, tentunya semampu saya dalam menginterpretasikan yang sebenarnya bisa dikatakan tidak mampu, amat banyak diceritakan bagaimana umat terdahulu kemudian harus menerima hukuman dari Allah SWT ketika masih di dunia, dan polanya hampir sama, tidak mau berterima kasih dengan pemberian nikmat-nikmat yang Allah berikan hingga akhirnya penolakan keterlibatan Allah dalam kehidupannya...

Namun, pernahkan kita memperhatikan sejarah yang tak pernah dicatat dengan detail oleh al Quran (sekali lagi tidak dicatat dengan detail), mungkin akan banyak energi yang harus kita habiskan untuk mau dan mencoba mencurahkan melihat sesuatu yang tak berlabelkan Islam atau memiliki simbol-sibol Islam di dalamnya, sekalipun sejarah yang tak berlabelkan Islam tersebut sebenarnya bisa memberikan kita pelajaran berharga..

Dahulu kala, ketika Eropa tak pernah berfikir untuk menerapkan sekuleristik, bagaimana kaum agama yang diwakili kaum gereja (khatolik) amat mampu mengontrol masyarakatnya yang juga warga negara yang dipimpin raja,. Norma dan etika yang dikembangkan tentunya etika ke-khatolikan. Bahkan, begitu kuatnya pengaruh gereja, hingga kekuasaan negara nyaris bisa dikatakan di bawah otoritas gereja.

Namun apa yang terjadi ketika mulai terjadi perbedaan pandangan atau pendapat di sesama umat khatolik, mulai dari ‘kompetisi’ antara gereja roma dan gereja yunani, munculnya protestan,.dan banyak kasus skiisme dalam umat nashrani lainnya..mari kita lihat yang terjadi di daratan eropa (yang menjadi basecamp nasharani), kemudian pimpinan gereja mengeluarkan maklumat perang suci, perang atas nama agama, perang atas nama tuhan, untuk memerangi saudara mereka sendiri yang memiliki pandangan atau pendapat yang berbeda dalam menafsirkan kehendak tuhan.. atas nama agama, atas nama tuhan, darah saudara sendiri tertumpahkan, bahkan menjadi dianggap benar, karena tuhan dianggap menghendakinya....

Butuh cukup waktu yang amat lama bagi masyarkat nashrani di sana untuk bisa menghilangkan ketraumaan mereka, akan ‘kesewenang-wenangan’ atas nama agama untuk justifikasi peperangan yang sudah banyak menimbulkan kengerian dan mimpi buruk,...mereka mulai menyanyakan kembali apa yang mendasari pembunuhan atas nama tuhan, benarkah alasannya bisa diterima oleh tuhan itu sendiri,..

Ketika kengerian demi kengerian mereka alami, akhirnya mereka memutuskan lompatan besar, atau kita kenal dengan renesain, (maaf kalo salah tulis) yang kemudian memutuskan untuk membatasi peranan gereja, hingga akhirnya menolak keberadaan agama untuk mengurus warga negeranya secara kolektif...

Apa mungkin umat Islam akan melakukan kesalahan yang sama, ketika setiap perbedaan kemudian disikapi dengan kekerasan atas nama tuhan? Lalu dimana orang-orang yang dengan bangga menyatakan dirinya tukang dakwah, dimana mentalitas mereka, yang hanya karena telah beramar ma’ruf (dalam versi mereka tentunya) satu atau dua kali, terus merasa berhak melakukan anarkisme bahkan atas nama tuhan pula ketika objek dakwah tidak mau mengindahkan mereka???

Sekalipun orang lain mau benar-benar kafir, bukankah Allah telah memberikan kebebasan untuk manusia seperti itu, lalu mengapa ada manusia yang merasa berhak untuk melakukan ‘penghukuman’ kepada orang lain yang dianggap kafir oleh dirinya?

Ya Rasulullah, rindu kami pada mu....

Astaghfirullah...

Astaghfirullah...

Astaghfirullah...

Wallahu a’lam bishshowab

Siapa Kafir Itu???

oleh at tighaliy

Menjawab pertanyaan tersebut bisa mudah bisa juga rumit, atau bahkan tak akan terjawab..sepertinya, siapa pun yang ingin menjawab tersebut menurut saya adalah orang yang sangat hebat dan tentunya memiliki ilmu yang amat luas, atau bisa jadi sekedar merasa memiliki ilmu yang amat luas, sehingga dengan gagahnya berani menempatkan diri sebagai penilai dan pengadil dalam lahan teologi.

Sebenarnya yang dikhawatirkan adalah efek dari jawaban tersebut, yang berupa fatwa atau putusan hukum akan status seseorang atau sekelompok orang yang bisa menimbulkan sikap berlebihan. Fatwa ini mengkhawatirkan, karena fakta yang tertulis dalam sejarah (sekalipun sejarah bersifat subjektif penulisnya), banyak sekali darah yang mesti mengalir sebagai efek dari fatwa peng-kafiran ini..

Yang juga harus menjadi pertanyaan adalah, adakah hak manusia untuk menjawab pertanyaan itu? jika ada, manusia yang bagaiamana kah yang boleh menjawab pertanyaan itu? dalam kedudukan apa ia boleh menjawab? Apakah kedudukan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan? Saya rasa, pertanyaan ini juga hanya bisa dijawab oleh orang yang memiliki ilmu yang amat luas, atau juga mereka yang sekedar merasa memiliki ilmu yang amat luas..

Menurut Isfahani, yang dikutip oleh Quraish Shihab, kufur (kafaro) merupakan lawan kata dari syukur (syakaro). Syukur ini bisa diartikan secara harfiah membuka, sehingga syukur mengandung arti gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan. Dengan demikian, kufur ini bisa diartikan menutup, dan atau melupakan nikmat dan menutup-nutupunya. Sependapat dengan Quraish Shihab, Toshihiko Izutsu juga mengartikan kufur sebagai sikap tidak berterima kasih. Namun Toshihiki Izutsu lebih menempatkan arti ini sebagai arti pra-Quranik. Namun setelah turunnya al-Quran, kafaro ini juga sering berada dalam satu kalimat dengan islam ataupun iman sebagai antonim, sehingga memiliki arti baru (yang biasanya dia sebut sebagai makna relasional).

Mungkin kita mesti memperhatikan, peristiwa yang menurut Afif Muhammad, Dari Teologi ke Ideologi, sebagai peristiwa pengkafiran pertama, dimana seorang muslim dikafirkan oleh sesama msulim lainnya. Seorang menantu Nabi, seseorang yang dikatakan dalam sebuah hadits sebagai kunci dari gudang ilmu dan termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk surga, Ali bin Abi Thalib dikafirkan oleh mereka yang oleh Syahrastani, Al Milal wa Al Nihal, dikelompokkan sebagai Khawarij.

Toshihiko Izutsu, dalam Konsep Kepercayaan Dalam Teologi Islam, yang menjelaskan analisis semantik iman dan Islam, menjelaskan bahwa istilah kafir yang digunakan oleh khawarij ini telah mengalami pergeseran makna. Kafir yang makna semantiknya lawan kata iman (pada masa Quranik), yaitu sebagai ‘orang yang menolak’ atau ‘orang yang tidak percaya’ diselewengkan menjadi mereka yang memiliki interpretasi atau pemahaman yang berbeda. Dalam hal ini, Khawarij telah terjebak dalam klaim sebagai kelompok paling benar.

Yang tak bisa dilupakan adalah, bahwa khawarij ini terlahir dari romantika politik saat itu (siapa yang layak menjadi khalifah). Kaum khawarij, seperti yang ditulis Syahrastani, khususnya kelompok Muhakkimah, mendasarkan pemberontakannya salah satunya pada hal mengenai imamah (kepemimpinan umat) diperbolehkan kepada orang lain selain orang quraisy, yang penting adalah seorang imam memimpin memerintah rakyat harus sesuai dengan ide-ide keadilan dan kesetaraan menurut pandangan mereka (khawarij).

Versi lainnya, khawarij terpaksa mengkafirkan Ali bin abi Thalib untuk menyelamatkan dirinya dari ancaman ayat yang menyatakan pembunuh muslim layak diganjar dengan Jahannam. Sehingga mereka mengkafirkan Ali, sehingga mereka bisa berdalih bahwa mereka tidak membunuh seorang muslim melainkan membunuh seorang kafir.. dan tentunya berbagai versi lainnya.....

Bukan maksud saya kembali menulis sejarah, karena saya pun tak tahu apa-apa, tapi mungkin kita bisa napak tilas, bagaimana umat ini menjadi tercerai berai bahkan terlibat pertikaian berdarah dengan sesama alhlul-kiblat...namun sebagai pengingat, bahwa proses pengkafiran pertama ini dimulai dengan berbedanya pendapat, dan salah satu pihak yang terlibat dalam perbedaan pendapat tersebut memainkan peran yang keluar dari koridor yang seharusnya, yaitu memainkan peran sebagai penilai, pengadil, dan pengambil tindakan (eksekusi)..

Sejenak kita kembali ke masa lalu, khusunya masa dinasti Abbasyiah,

Jadi, amat menyeramkan sekali jika, mereka yang memiliki kekuasaan dan kekuatan (yang belum tentu mendapat otoritas secara hukum Allah), kemudian mengeluarkan fatwa kafir atau tidak kafir, sesat atau tidak sesat,..apalagi jika konflik politik sedang berlangsung, maka siapapun lawan politik penguasa, keamanan dirinya amat sangat terancam, apalagi jika ‘penghilangan’ lawan politik ini mendapatkan pembenaran atas nama agama, atas nama Tuhan...

so, what the conclusion???