Minggu, 28 Juni 2009

There always got a hope for a life,we life for a hope, and what we believe in for

Manakala mentari tua
Telah berpijar
Manakala bulan nan genit
Enggan tersenyum
Berkelap kelip tiada terbayang
Tersendat-sendat merayap dalam kegelapan
Hitam kini hitam nanti
Gelap kini akankah silih berganti....

Chrisye - Lilin Lilin Kecil

Pemilihan Presiden (Pilpres) 10 Juli 2009 nanti banyak menyimpan harapan dari seluruh rakyat Indonesia. Bagaimana tidak, Pilpres nanti akan menentukan secara konstitusional penguasa negeri ini lima tahun ke depan. Padahal di tangan penguasalah negeri ini akan dibawa kemana, apakah ke arah yang lebih baik, atau justru sebaliknya.


Karena sangat besar harapan itu, seolah-olah ketika jagoan kita dalam Pilpres kalah, dan yang menang adalah kawan seberang, maka hilanglah cahaya sinar dalam hidup ini, hilang sudah harapan, karena dengan sisi jahiliyah yang mungkin saja terpendam dalam alam bawah sadar, kita justru meremehkan dan menganggap tidak ada harapan jika pemenang Pilpres bukanlah jagoan kita.


Ada benarnya lirik lagu di atas, ketika memang tak ada lagi sinar matahari dan cahaya bulan, sebenarnya kita masih bisa mendapatkan cahaya dari lilin-lilin kecil. Memang tak besar, tapi di saat ini, cahaya atau harapan adalah hal yang tak mungkin kita hilangkan.


Yang kita butuhkan cukup seperti cahaya lilin, pemimpin yang kita butuhkan adalah dia yang mau membakar diri dan merubah dirinya untuk menerangi manusia sekelilingnya. Bukan dia yang menjadi besar dan ingin jadi pahlawan negeri ini dengan mengorbankan bawahannya.


Bagaimana jika saat ini kita hilangkan pikiran ketakutan,ketakukan yang muncul jika sistem yang mengelola negeri ini dianggap sistem yang bukan berasal dari cahaya (Islam), cahaya yang menaungi semua rakyatnya seperti sinar matahari menaungi bumi, mungkin tak perlulah rasanya kita harus putus asa. Bahkan dengan keputus-asaan tersebut janganlah kita berkorban tanpa arti untuk merebut kursi kekuasaan.


Bukankah Muhammad telah mengajarkan, bahwa beliau menolak kursi kekuasaan (kuffar) untuk tetap menyebarkan cahaya (Islam)? sekalipun boleh ditafsirkan kita tidak boleh bergabung dengan sistem (kuffar), tapi bukankah boleh pula menafsirkan, bahwa untuk menyebarkan cahaya (Islam) tak harus menguasai kursi kekuasaan. cobalah tanya kembali sebuah anggapan yang menyatakan bahwa dengan kursi penguasa ini akan lebih memudahkankan untuk menyebarkan cahaya (Islam) seperti mudahnya sinar matahari menyelusup sudut-sudut bumi. Bahkan bukankah juga boleh ditafsirkan, untuk membantu cahaya (Islam) yang dibutuhkan adalah bukan perebutan kursi kekuasaan, tapi bagaimana belajar menjadi lilin, berkorban, membakar diri untuk menerangi orang sekitar.


Lilin telah memberikan teladan,dia tidak peduli cahayanya tak sebesar bulan, tapi yang dikerjakan malah bisa memberikan keteladanan. Bukankah Tuhan juga pernah berpesan, Islam bukanlah paksaan, sekalipun itu dari penguasa. Islam menyebar oleh keteladanan.


Bukan lagi mimpi jika membayangkan sebuah lilin untuk menerangi dunia, karena manusia bertahan atas harapannya sendiri (yang diberikan Tuhan), sekecil apapun bentuk harapan itu, hal itulah yang akan membuat manusia tetap bertahan. Seperih apapun kehidupan yang mereka jalani, kita percaya bahwasanya harapan akan kehidupan esok yang lebih baik itu pasti ada. Harapan itu akan selalu ADA. There always got a hope for a life,we life for a hope, and what we believe in for.

Jumat, 19 Juni 2009

Mengingat Politik Lampau

Mengingat Politik Lampau

Pada jaman kemerdekaan baik sebelum dan sesudah kemerdekaan, beberapa kelompok masyarakat mulai mempersiapkan diri dalam berpolitik, apa itu dibentuk sendiri, atau bahkan dengan sponsor negara asing. Salah satu organisasi politik yang didirikan pada zaman itu adalah Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).

Disini saya coba kutipkan pendapat Nurcholis Madjid, dari buku Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya Dalam Pembangunan Di Indonesia. Menurutnya, Masyumilah yang dianggap sebagai cikal bakal munculnya kelompok konstitusionalis. Jika dikaji secara historis Masyumi ini memang unik. Mula-mula dibuat dan didirikan Jepang,-dari sinilah muncul tuduhan, khususnya yang dilontarkan kaum intelektual pendidikan Belanda, bahwa Masyumi ‘berbau Fasis- sebagai pelaksanaan strategi Jepang untuk mengambil hati umat Islam dalam perang Asia Timur Raya.

Pada November 1945 diadakan kongres umat Islam dan disepakati hendak membentuk sebuat partai Islam, nama Masyumi dipertahankan oleh “orang-orang lama” dan kaum “kolaborator” Jepang yang terdiri dari para pemimpin NU dan Muhammadiyah (tentu dengan pertimbangan interest sendiri). Namun usaha ini ditentang oleh para intelektual (berpendidikan barat), karena secara naluri mereka ini lebih senang orang Barat daripada orang Jepang, sebagaimana telah diperhitungkan Jepang sendiri.

Akan tetapi, para pemimpin Muslim “Westernized” yang berkumpul dalam PII (Pelajar Islam Indonesia) ini kalah suara, dan jadilan Masyumi nama partai Islam pertama dan satu-satunya pada zaman awal kemerdekaan. Yang menarik di sini, wadah Masyumi buatan Jepang yang bagi para intelektual (didikan barat) “berbau fasis” itu akhirnya nyaman juga terasa pada mereka, malah mereka mulai menunjukkan sikap-sikap yang tidak begitu menyenangkan bagi penghuni aslinya. NU keluar dari Masyumi, dan Muhammadiyah menyatakan berhenti sebagai “anggota istimewa”

Berkat pimpinannya yang terbaratkan itulah maka Masyumi tampil sebagai partai dengan konsep-konsep dan ide-ide politik modern serta melahirkan kaum konstitusionalis. Oleh karena itu, mereka sebenarnya adalah kaum modernis yang westernis, sama dengan kaum modernis yang westernis dari kelompok lainnya.

Dari sudut pandang keperluan pada modernisasi dan reformasi Islam dan masyarakat Indonesia, peranan masyumi itu positif, konstruktif, dan malah cukup mengagumkan. Cuma mungkin karena pengalaman traumatis berbagai kekecewaan dan kegagalan politik mereka, orang-orang Masyumi menjadi kehinggapan penyakit oposisionalisme yang agak kelewatan. Mereka juga agak kehilangan perpektif masalah-masalah lingkungannya, khususnya masalah sosial politik. Di sini juga mereka semakin kehilangan relevansi terhadap tuntutan zaman. Lebih payah lagi para pewaris sahnya telah lupa akan peranan Masyumi sebagai partai modern dan konstitusionalis, dan yang diingat hanya perjuangannya yang mengebu-gebu, namun gagal untuk mendirikan negara Islam di konstituante (secara konstitusional!).

Apakah Masyumi masih ada?entahlah, tapi yang pasti bukan lima besar pemenang Pemilu Legislatif 2009. Tapi kita harus khawatir, akan ada “Masyumi yang lain”, akan ada “NU dan Muhammadiyah yang lain” yang merasa tak nyaman lagi dengan “Masyumi yang lain”, akan ada “modernis westernis yang lain” yang kemudian lupa akan cita-cita awal “Masyumi yang lain” ini. Akhirnya, enam puluh tahun kedepan, Umat Muslim akan seperti apa? Karena inilah keadaan kita sekarang setelah lebih dari enam puluh tahun merdeka.

Rindu kami padamu ya Rasul.

Salam kasih damai untuk semua umat manusia.

Sabtu, 06 Juni 2009

Cara Memandang Hutang

hutang jika didefinisikan secara sederhana adalah sesuatu yang harus segera dilunasi, dilaksanakan atau ditunaikan. Apakah sesuatu itu berupa materi (benda mati) atau berupa aktivitas. Misalnya jika seorang meminjam suatu barang seperti uang maka harus dikembalikan, dengan kata lain dilunasi, atau jika seseorang sudah berjanji maka harus ditepati, dengan kata lain dilaksanakan.

Tentunya cara pandang hutang semua manusia di dunia ini sangat beragam, dimana cara pandang hutang sangat dipengaruhi dari tradisi masyarakatnya, pola asuh keluarga, bahkan cara bagaimana ia memandang Tuhannya.

Untuk hutang berupa materi seperi uang atau modal, ada manusia yang merasa malu jika punya hutang, ada juga yang merasa biasa saja, bangga, bahkan takut. Semuanya tergantung dari konteksnya. Bisa jadi mereka yang malu, karena hutang berkorelasi positif dengan keadaan ekonomi. Semakin banyak hutang semakin tidak makmur. Bagi mereka yang biasa saja, bisa jadi mereka yang berada dalam budaya ‘hutang’, kegiatan apapun dibiayai dengan hutang, sehingga hutang menjadi hal yang umum dan lumrah. Bagi mereka yang bangga, bisa jadi menganggap semakin banyak hutang semakin menunjukkan adanya perkembangan, karena semakin banyak hutang dianggap semakin banyak aktivitas. Dan bagi mereka yang takut dalam menghadapi hutang, adalah mereka yang mengkhawatirkan tidak bisa melunasi hutangnya. Atau jika menggunakan klasifikasi lain, ada sekelompok manusia yang optimis dalam memandang hutang, dan sebaliknya merasa pesimis dengan setiap hutangnya. Mereka yang optimis memandang hutang sebagai suatu kesempatan untuk memperbaiki kehidupan, tapi mereka yang pesimis melihat hutang sekedar beban yang akan terus bertambah, dan tak akan bisa dilunasi.

Adapun hutang berupa janji untuk melakukan sesuatu, sangat memungkinkan ada persepsi yang berbeda. Ada yang merasa janji harus ditepati sebaik mungkin, sekedar ditepati, atau bahkan selalu bersikap apologi untuk membatalkan janjinya.

Ketika memiliki hutang ke pihak lain, ada yang bersikap menjauh dari pemberi hutangnya untuk menghindar dimintai melunasi (atau menunaikan) sesuatu, ada yang bersikap biasa saja, atau bahkan menghormati hingga bisa mengikuti kemauan pihak pemberi hutangnya.

Seorang anak yang merasa berhutang kepada orang tuanya ada yang membalas dengan melakukan semua permintaan semua orang tuanya, ada juga yang memutuskan untuk merawat orang tuanya yang renta dan menunda untuk berkeluarga, bahkan menjual dirinya untuk kebutuhan ekonomi orang tuanya.

Untuk hal yang sederhana saja, misal dalam berdoa, setiap anak yang mendoakan kedua orang tuanya bahkan lebih banyak memintakan untuk orang tuanya daripada dirinya sendiri. Ambil contoh, sebuah doa yang di’klaim’ doa untuk kedua orang tua. bagi seorang anak, ia memintakan ampun untuk dirinya dan orang tuanya, kemudian ia menambahan agar Allah berkenan menyayangi kedua orang tuanya sebagaimana kedua orang tuanya menyayanginya.

Dalam hubungan dengan Tuhannya, manusia pun akan berbeda dalam cara memandang hutang. Hubungam antara manusia dengan Tuhan ini lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran agama. Uniknya antara hutang dan agama ini ternyata sangat dekat dalam bentukan katanya. Itu pun jika kita kembalikan hutang dan agama ini dalam bahasa arab. Hutang dalam bahasa arab adalah dayn, sedangkan agama adalah din yang berasal dari huruf D-Y-N (dal-ya-nun).

Din bisa diartikan ketaatan, merendahkan diri, ketundukan; meyakini keesaan Allah; agama Islam; hukum, status, peraturan tertentu, sistem yang berlaku, ritual, upacara; kebiasaan, adat, cara, jalan dan lain sebagainya.

Menurut Sachiko Murata dan William C. Chittick, din memiliki makna yang membuatnua dekat dengan dayn, oleh karena itu din juga bisa diartikan pembayaran hutang, pengembalian, balasan, pembalasan, sebuah perhitungan, dan hari pembalasan.

Hubungan antara ketaatan dan hutang tidaklah sulit untuk dipahami. Jika kita kembali ke masyarakat pra-Islam(Muhammad) dimana hubungan personal merupakan segala hal. Jika ada seseorang yang meminjam uang (berhutang), maka berita ini akan sangat cepat tersebar, sehingga semua orang tahu bahwa seseorang tersebut memliki hutang. Dalam masyarakat pra-Islam(Muhammad) kata-kata atau pendapat orang lain merupakan kehormatan baginya, dan hidup tanpa kehormatan mengurangi (nilai) kemanusiaan. Oleh karena itu, jika seseorang berhutang kepada orang lain, ia harus menjaga hubungan personal dan kehormatan dirinya. bahkan kehormatan dirinya ini benar-benar harus dijaga karena berimplikasi pada kehormatan suku dan kelompoknya. Oleh karena itu orang yang berhutang akan menghormati orang yang memberinya hutang. Dalam pengerian selanjutnya, orang yang berhutang kepada orang lain berarti tunduk kepada orang tersebut.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan muslim, “Pada suatu hari kami (Umar Ra dan para sahabat Ra) duduk-duduk bersama Rasulullah Saw. Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda perjalanan. Tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah Saw. Kedua kakinya menghempit kedua kaki Rasulullah, dari kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah Saw, seraya berkata, "Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam." Lalu Rasulullah Saw menjawab, "Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu." Kemudian dia bertanya lagi, "Kini beritahu aku tentang iman." Rasulullah Saw menjawab, "Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada Qodar baik dan buruknya." Orang itu lantas berkata, "Benar. Kini beritahu aku tentang ihsan." Rasulullah berkata, "Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya walaupun anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat anda. Dia bertanya lagi, "Beritahu aku tentang Assa'ah (azab kiamat)." Rasulullah menjawab, "Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya." Kemudian dia bertanya lagi, "Beritahu aku tentang tanda-tandanya." Rasulullah menjawab, "Seorang budak wanita melahirkan nyonya besarnya. Orang-orang tanpa sandal, setengah telanjang, melarat dan penggembala unta masing-masing berlomba membangun gedung-gedung bertingkat." Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata. Lalu Rasulullah Saw bertanya kepada Umar, "Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?" Lalu aku (Umar) menjawab, "Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui." Rasulullah Saw lantas berkata, "Itulah Jibril datang untuk mengajarkan agama (din) kepada kalian." (HR. Muslim)”

Berdasarkan hadits tersebut bisa dilihat adanya keterkaitan yang mendorong bobot moral yang diberikan pada para sahabat. Seorang muslim ada baiknya melihat Islam sebagai hutang yang mereka pinjam dari Allah. Hutang adalah sesuatu yang secara moral wajib dibayar oleh mereka. Hutang mereka karena banyak nikmat yang telah diberikan, mulai dari pemberian eksistensi, kesempurnaan akal dan fisik, hingga kebahagian abadi nantinya. Oleh karena itu orang yang meminjam sesuatu dan mengingkari untuk mengembalikannya dalam hubungannya dengan Allah adalah mereka yang melalaikan agamanya.

Hadits di atas ada yang menganggap sebagai inti dari Islam itu sendiri, jika pendapat ini kita terima, artinya seorang muslim baru bisa melunasi agamanya jika ia telah bisa beriman, berislam dan berihsan.