Jumat, 28 Mei 2010

Merasa Salah

Teringat peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu. Saat itu saya pulang sekolah dari SLTP N 3 Bandung, melewati pasar burung Dewi Sartika, terlihat orang ramai, berkumpul mengarah ke seseorang. Sedikit saya mengintip apa yang sedang dikerumuni orang-orang ini, terlihat seorang bapak paruh baya dengan muka yang lebam dibeberapa bagian. Bajunya basah, sedikit sobek, dan telihat noda darah. Mencuri dengar, katanya orang itu tertangkap basah mencuri burung..

Kejadian ini memang memberikan pelajaran, mencuri adalah perbuatan yang salah. Namun pada waktu itu, saya pribadi lebih takut babak belur dari pada dianggap melakukan kesalahan. Entah apa yang terjadi jika waktu itu saya melihat koruptor yang hidup berfoya-foya, sekalipun secara nilai materi, apa yang dicuri jauh lebih besar, tapi malah dihukum dengan kemewahan.

Ternyata benar kata orang bijak, bahwa nikmat terbesar adalah ketika hati seorang manusia masih bisa merasakan kesalahan. Dengan demikian, hati tersebut akan menuntun setiap manusia untuk selalu mencari kebaikan dalam amalnya.

Lalu siapa yang beruntung, apakah pencuri burung ataukah si koruptor? Jika dilihat apa yang dilakukan dan apa yang didapat, secara materi, tentu saja koruptor. Tapi dilihat dari sisi yang lain, bisa jadi si pencuri burung lah yang beruntung. Rasa sakit yang diterima adalah bentuk perhatian Allah, ada pengajaran di dalamnya, dia masih diingatkan, bahwa yang dilakukannya adalah salah. Tetapi sebaliknya, si koruptor tak lagi diperhatikan, karena ia tak lagi diberikan teguran langsung akan perbuatannya.

Minggu, 18 April 2010

Antologi Islam (buku)

Sebuah buku menarik, walapun mungkin menarik hanya untuk sebagian orang saja, yang berisi tentang Ideologi dari Syiah Ali. Kenapa dikatakan menarik, karena sekalipun buku ini memuat banyak tentang Syiah Ali, tapi tidak sedikit menggunakan referensi-referensi Sunni.

Buku ini terdiri dari 15 Bagian,
1. MENGAPA MAZHAB AHLULBAIT?
2. KEMAKSUMAN PARA NABI DALAM QURAN DAN HADIS
3. IMAMAH MERUPAKAN KELEMBUTAN (LUTHF) ALLAH
4. IMAMAH VERSUS KENABIAN
5. IMAM MAHDI : CAHAYA PETUNJUK AKHIR
6. POLEMIK OTENTISITAS GHADIR KHUM
7. MENGAHARGAI SABAHAT NABI YANG SALEH
8. SERANGAN KE RUMAH FATHIMAH
9. MUAWIYAH DAN PENGANIAYAAN TERHADAP IMAM ALI
10. KEISLAMAN ABU THALIB
11. PARA SAHABAT YANG MEMBUNUH UTSMAN
12. KONTROVERSI ABDULLAH BIN SABA
13. TAUHID MENURUT SYI’AH DAN SUNNAH
14. KEYAKINAN SYI’AH TERHADAP KELENGKAPAN QUR’AN
15. ISU-ISU SEPUTAR IBADAH

Dari sekian banyak informasi tentang pemikiran Syiah, bagi mereka yang tertarik dengan penelitian sejarah, buku ini bisa menjadi masukkan mengenai kebenaran, atau setidaknya memberikan penilaian yang lebih objektif tentang Syiah Ali. Misal saja dengan uraian pada bagian ke 12, mengenai keberadaan Abdullah bin Saba, yang dipercaya sebagai bibit dari munculnya pemikiran Syiah dibantah secara teoretis, bahkan disimpulkan bahwa Abdullah bin Saba adalah tokoh fiktif belaka.

Untuk Mendapatkan buku Antologi Islam silakan klik di sini

Selamat membaca. Selaman menemukan khazanah baru tentang sejarah agama, tentu saja bukan untuk membenarkan atau menyalahkan satu pihak, tapi lagi-lagi dengan buku ini kita diharapkan bisa menjadi lebih bijaksana.

Selasa, 16 Maret 2010

"Bonus" Seharusnya Bukan Tujuan Utama

"Bonus" Seharusnya Bukan Tujuan Utama
Oleh: At Tighaliy

Satu hadiah yang berasal dari ketulusan jauh lebih dihargai dibandingkan ribuan mutiara yang berasal dari pamrih. Hal ini sepertinya berlaku untuk hubungan apapun, baik antara manusia dengan Tuhannya, ataupun untuk sesama manusia. Sebuah pemberian yang berasal dari ketulusan hati adalah tindakan yang tidak menginginkan balasan berupa apapun, sekalipun itu hanya ucapan pujian atau terima kasih. Justru sebaliknya sebuah ketuluhan akan lahir mana kala si pelaku menganggap dirinya berhutang dan layak mengucapkan bentuk terima kasih terbaiknya, artinya apapun bentuk pemberiannya nanti itu adalah sebuah balasan, dan bukan 'pancingan' untuk mendapatkan pemberian balik yang lebih besar.

Dalah hubungan dengan Tuhannya, terkadang kita mendengar kabar tentang kesaktian seseorang yang terkenal dengan keshalehannya. Kesaktian tersebut dapat berupa kemampuan dalam penyembuhan berbagai macam penyakit, atau pandangan akan masa depan, atau bahkan berbagai ilmu kebatinan atau kanuragan.

Sayangnya terkadang kekurangkritisan sebagian masyarakat justru memberikan simpulan singkat akan kesaktian tersebut, yaitu adanya anggapan bahwa kesaktian diperoleh dari keshalehan. Anggapan ini kemudian menggiring masyarakat untuk mengerjakan amalan-amalan sholeh yang sayangnya ditujukan bukannya untuk mendapatkan keshalehan melainkan justru untuk mendapatkan kesaktian. Hal besar yang terlupakan adalah jika amalan shaleh itu sebuah bentuk ibadah, dan ibadah adalah bentuk rasa syukur, maka seharusnya ibadah itu dilaksanakan tanpa pamrih.

Melihat cerita-cerita para orang-orang shaleh atau bahkan para sahabat Nabi, tak sedikit beberapa keutamaan yang digambarkan salah satunya adalah kemampuan yang memang benar-benar diluar nalar sehat orang awam. Tapi jangan lupa, sependek yang diketahui penulis, mereka para orang-orang shaleh tak pernah meniatkan amalan yang dikerjakan untuk mendapatkan kemampuan-kemampuan tersebut, dan penulis setuju dengan pendapat yang menyatakan, jika memang seorang shaleh mendapatkan kemampuan tertentu, itu adalah "bonus" dari Allah, yang sebenarnya menjadi tanggung jawab dan tantangan baru untuknya, dan bukan tujuan utama dari pelaksanaan amalah shaleh tersebut.

Lalu mengapa ada saja sebagian manusia yang terjebak dengan cara pandang instant ini, jawabannya bisa jadi karena lupa akan hakikat bahwa pada dasarnya kita berhutang pada Tuhan atas segala nikmat yang telah diberikan. Nikmat-nikmat ini bisa diwujudkan dalam bentuk apa saja, seperti kesehatan, fasilitas keduniaan, atau yang sering kita dengar sebagai nikmat terbesar adalah nikmat Iman dan Islam. Nikmat yang tak terhitung inilah yang harus kita 'lunasi' dalam bentuk ibadah yang tulus. Bahkan dalam bukunya, Vision Of Islam, Sachiko Murata dan William. C. Chittick, menjelaskan arti turunan dari kata 'DIN' yaitu hutang. Hal ini menguatkan bahwa agama pada dasarnya membantu para manusia untuk melunasi hutangnya atau dengan kata lain agama berisi panduan untuk melaksanakan peribadatan yang tulus.

Alasan lain yang bisa membuat adanya ketidaktulusan adalah adanya cara pandang akan 'kesaktian' itu sendiri. Kesaktian dianggap sebagai bukti 'instan' dari keshalehan itu sendiri, atau bahkan bisa lebih parah lagi, bahwa kesaktian lebih berharga daripada keshelehan itu sendiri. Karena dianggap lebih berharga, maka lebih layak diutamakan. Cara pandang ini akan lebih gawat lagi efeknya, karena lama-kelamaan tak ada lagi ketulusan, tak ada lagi keinginan untuk mengungkapkan terima kasih pada Tuhan. Padahal lupa berterima kasih adalah arti awal dari kata Kufur.

Pola hubungan kita dengan Tuhan, atau cara pandang kita akan Agama tentu saja akan mempengaruhi pola hubungan kita dengan sesama atau cara pandang kita akan kehidupan sehari-hari. Tak jarang kita akan menemukan hal yang nyaris serupa, yaitu tidak sedikit anggota masyarakat yang membeli suatu produk bukan karena butuh akan produk itu sendiri, melainkan tertarik akan hadiah yang ditawarkan. Tidak sedikit orang yang menyimpan dananya di bank bukan untuk kepentingan kemudahan transaksi dan keamanan, tapi karena tertarik dengan bunganya (yang notabene memberatkan peminjam dana dari bank). Tidak sedikit orang tertipu dengan undian behadiah, karena merasa layak mendapatkannya sekalipun tidak menggunakan produk tertentu secara rutin. Atau bahkan tidak sedikit dari sebagian masyarakat tidak peduli dengan isi iklan sebuat iklan televisi, tapi lebih memperhatikan seperti apa pose model iklan tersebut.

Entahlah, ketika penganut persepsi hidup "lebih mementingkan 'bonus'", semakin menjamur, maka akan semakin sulit untuk melepaskannya, karena ketika suatu kesalahan telah dilkukan secara kolektif, maka salah satu fungsi masyarakat sebagai kontrol sosial akan semakin sulit dilakukan, hal ini dikarenakan tak ada lagi yang merasa ada kesalahan yang terjadi. Bukan lagi masyarakat konsumtif, tapi benar-benar masyarakat yang tak lagi tahu mana yang utama atau mana yang tambahan. "Bonus" seharusnya bukan tujuan utama.

Sabtu, 20 Februari 2010

Terkadang 'Berat Sebelah' Itu Menjadi Pilihan

Ada yang mengatakan, ketika manusia diciptakan dengan satu mulut, dua mata dan dua telinga, tandanya seharusnya lebih banyak dan mendengar dan melihat daripada berbicara.

Dalam berdiskusi, apapun bentuknya, terkadang sikap dan karakter membawakan pendapat berhubungan erat dengan kepribadian seseorang, sementara kepribadian seseorang tersebut dipengaruhi dengan caranya beragama, atau caranya memandang Tuhan.

Jika ditanyakan apakah hidup untuk beragama atau beragama untuk hidup, ya jelas saja, dengan segala kekurangan kapasitas berbahasa, tiap manusia memang akan memainkan peran yang berbeda. Maskulinitas dan sisi feminim lebih sering hadir secara proporsional (dibaca berat sebelah) yang terpengaruhi tradisi geografis. Yang muda patuh pada yang berusia lebih, wanita menghamba pada pria, ataupun sebaliknya, sehingga dominasi terkadang dianggap benar, bahkan menggunakan dalih "ATAS NAMA TUHAN". Hebatnya sebagian mereka ada yang beranggapan menjadi dominan adalah harus, sebagian lainnya menjadi resesif adalah keharusan juga, sehingga sekalipun adanya ketimpangan peranan sosial itu hal yang wajar, atau bahkan benar secara aturan.

Dalam berdiskusi memang diharapkan adanya posisi setara dari setiap anggotanya, namun hal ini hanya pada hak dalam berpendapat. Di luar itu, maka setiap anggota diskusi jangan melupakan kesantunan dalam menyampaikan pendapat. Dalah hal inilah terkadang posisi proporsional atau selagi lagi ditekankan berat sebelah dari anggota diskusi menjadi wajar karena faktor seperti gender, usia, dan bahkan strata sosial.

Maskulin-feminim atau jalaliyah-jamaliyah haruskah sama rata, atau berat sebelah, entahlah. Ketika Allah menyatakan, "RahmatKu mengalahkan keMurkaan-Ku", apakah itu diartikan sama rata atau berat sebelah. Makna pastinya hanya Allah yang tahu. Tapi setidaknya kita tidak bisa memaksakan kesamarataan antara dominan-resesif, maskulin-feminim, ataupu jalaliyah-jamaliyah.