Selasa, 16 Maret 2010

"Bonus" Seharusnya Bukan Tujuan Utama

"Bonus" Seharusnya Bukan Tujuan Utama
Oleh: At Tighaliy

Satu hadiah yang berasal dari ketulusan jauh lebih dihargai dibandingkan ribuan mutiara yang berasal dari pamrih. Hal ini sepertinya berlaku untuk hubungan apapun, baik antara manusia dengan Tuhannya, ataupun untuk sesama manusia. Sebuah pemberian yang berasal dari ketulusan hati adalah tindakan yang tidak menginginkan balasan berupa apapun, sekalipun itu hanya ucapan pujian atau terima kasih. Justru sebaliknya sebuah ketuluhan akan lahir mana kala si pelaku menganggap dirinya berhutang dan layak mengucapkan bentuk terima kasih terbaiknya, artinya apapun bentuk pemberiannya nanti itu adalah sebuah balasan, dan bukan 'pancingan' untuk mendapatkan pemberian balik yang lebih besar.

Dalah hubungan dengan Tuhannya, terkadang kita mendengar kabar tentang kesaktian seseorang yang terkenal dengan keshalehannya. Kesaktian tersebut dapat berupa kemampuan dalam penyembuhan berbagai macam penyakit, atau pandangan akan masa depan, atau bahkan berbagai ilmu kebatinan atau kanuragan.

Sayangnya terkadang kekurangkritisan sebagian masyarakat justru memberikan simpulan singkat akan kesaktian tersebut, yaitu adanya anggapan bahwa kesaktian diperoleh dari keshalehan. Anggapan ini kemudian menggiring masyarakat untuk mengerjakan amalan-amalan sholeh yang sayangnya ditujukan bukannya untuk mendapatkan keshalehan melainkan justru untuk mendapatkan kesaktian. Hal besar yang terlupakan adalah jika amalan shaleh itu sebuah bentuk ibadah, dan ibadah adalah bentuk rasa syukur, maka seharusnya ibadah itu dilaksanakan tanpa pamrih.

Melihat cerita-cerita para orang-orang shaleh atau bahkan para sahabat Nabi, tak sedikit beberapa keutamaan yang digambarkan salah satunya adalah kemampuan yang memang benar-benar diluar nalar sehat orang awam. Tapi jangan lupa, sependek yang diketahui penulis, mereka para orang-orang shaleh tak pernah meniatkan amalan yang dikerjakan untuk mendapatkan kemampuan-kemampuan tersebut, dan penulis setuju dengan pendapat yang menyatakan, jika memang seorang shaleh mendapatkan kemampuan tertentu, itu adalah "bonus" dari Allah, yang sebenarnya menjadi tanggung jawab dan tantangan baru untuknya, dan bukan tujuan utama dari pelaksanaan amalah shaleh tersebut.

Lalu mengapa ada saja sebagian manusia yang terjebak dengan cara pandang instant ini, jawabannya bisa jadi karena lupa akan hakikat bahwa pada dasarnya kita berhutang pada Tuhan atas segala nikmat yang telah diberikan. Nikmat-nikmat ini bisa diwujudkan dalam bentuk apa saja, seperti kesehatan, fasilitas keduniaan, atau yang sering kita dengar sebagai nikmat terbesar adalah nikmat Iman dan Islam. Nikmat yang tak terhitung inilah yang harus kita 'lunasi' dalam bentuk ibadah yang tulus. Bahkan dalam bukunya, Vision Of Islam, Sachiko Murata dan William. C. Chittick, menjelaskan arti turunan dari kata 'DIN' yaitu hutang. Hal ini menguatkan bahwa agama pada dasarnya membantu para manusia untuk melunasi hutangnya atau dengan kata lain agama berisi panduan untuk melaksanakan peribadatan yang tulus.

Alasan lain yang bisa membuat adanya ketidaktulusan adalah adanya cara pandang akan 'kesaktian' itu sendiri. Kesaktian dianggap sebagai bukti 'instan' dari keshalehan itu sendiri, atau bahkan bisa lebih parah lagi, bahwa kesaktian lebih berharga daripada keshelehan itu sendiri. Karena dianggap lebih berharga, maka lebih layak diutamakan. Cara pandang ini akan lebih gawat lagi efeknya, karena lama-kelamaan tak ada lagi ketulusan, tak ada lagi keinginan untuk mengungkapkan terima kasih pada Tuhan. Padahal lupa berterima kasih adalah arti awal dari kata Kufur.

Pola hubungan kita dengan Tuhan, atau cara pandang kita akan Agama tentu saja akan mempengaruhi pola hubungan kita dengan sesama atau cara pandang kita akan kehidupan sehari-hari. Tak jarang kita akan menemukan hal yang nyaris serupa, yaitu tidak sedikit anggota masyarakat yang membeli suatu produk bukan karena butuh akan produk itu sendiri, melainkan tertarik akan hadiah yang ditawarkan. Tidak sedikit orang yang menyimpan dananya di bank bukan untuk kepentingan kemudahan transaksi dan keamanan, tapi karena tertarik dengan bunganya (yang notabene memberatkan peminjam dana dari bank). Tidak sedikit orang tertipu dengan undian behadiah, karena merasa layak mendapatkannya sekalipun tidak menggunakan produk tertentu secara rutin. Atau bahkan tidak sedikit dari sebagian masyarakat tidak peduli dengan isi iklan sebuat iklan televisi, tapi lebih memperhatikan seperti apa pose model iklan tersebut.

Entahlah, ketika penganut persepsi hidup "lebih mementingkan 'bonus'", semakin menjamur, maka akan semakin sulit untuk melepaskannya, karena ketika suatu kesalahan telah dilkukan secara kolektif, maka salah satu fungsi masyarakat sebagai kontrol sosial akan semakin sulit dilakukan, hal ini dikarenakan tak ada lagi yang merasa ada kesalahan yang terjadi. Bukan lagi masyarakat konsumtif, tapi benar-benar masyarakat yang tak lagi tahu mana yang utama atau mana yang tambahan. "Bonus" seharusnya bukan tujuan utama.