Sabtu, 08 September 2012

Sebuah Pilihan Nama, “nyata atau ghaib”



Masih teringat diri ini ketika mendengar sebuah penjelasan yang teramat sederhana dan mendasar, bahwa dalam sebuah dialog minimal ada 2 pihak, dan memungkinkan ada pihak tambahan. Pihak pertama disebut dengan orang pertama, atau orang yang aktif berbicara. Pihak kedua, disebut orang kedua atau orang yang diajak berbicara. Pihak tambahan adalah orang ketiga, atau dia/mereka yang dibicarakan. Orang pertama dan orang kedua ada pada ruang dan waktu yang sama, keduanya bertemu dan saling menyaksikan keberadaanya masing-masing secara nyata (ada dan terlihat). Sedangkan orang ketiga, setidaknya tidak dalam ruang yang sama,, atau entah kapan dalam ruang waktu mana orang ini dibicarakan, artinya ia tidak dalam pertemuan yang didalamnya ia diperbincangkan, orang ini ada, namun tidak dapat disaksikan, atau dengan kata lain ghaib (ada dan tidak terlihat).

Sangat sederhana sekali,karena kata nyata dan ghaib dengan mudah ditentukan. Pertama ada (eksis), kedua bisa atau tidak bisa dilihat, setidaknya dengan menggunakan parameter penampakan keberadaan dengan menggunakan indra penglihatan, dengan istrument mata telanjang. Jika ada dan terlihat dinilai nyata, tapi jika ada dan tidak bisa dilihat dinilai ghaib. Lalu apakah parameter ini bersifat mutlak??? Dengan mudah pula kita menjawab,TIDAK!!!. Kenapa, pertama karena daya lihat setiap orang berbeda. Mereka yang diberi mata sehat, dengan mudah melihat seseorang yang letaknya sangat jauh atau sebuah benda kecil, dimana mustahil dilihat mata telanjang mereka yang memiliki gangguan penglihatan tanpa alat bantu. Kedua, karena munculnya berbagai macam teknologi untuk menjadikan seseorang yang sebelumnya ghaib, tidak terlihat, menjadi nyata, terlihat. Missal teleskop yang mampu melihat suatu benda atau seseorang yang amat jauh dari jangkauan mata telanjang, bahkan saat ini streaming cam yang memungkinkan bertemunya penampakan gambar benda atau seseorang di bagian dunia lainnya di waktu bersamaan.

Dengan parameter terlihat atau tidak pun, ghaib dan nyata mejadi relatif. Sebagai contoh, Jin dinyatakan ada (eksis), sebagian manusia telah diberikan kelebihan melihat jin dalam bentuk sebenarnya. Maka jika untuk orang umum jin itu ghaib (ada tapi tidak terlihat), maka baginya itu nyata (ada dan terlihat).

Masalah lebih pelik ketika menggunakan variable tambahan untuk memenuhi parameter antara nyata dan ghaib yaitu kepercayaan (belief, ar. iman). Jika diasumsikan, hanya ada satu subjek penilai (yang menilai dengan instrument yang dimiliki), pertama suatu benda hanya akan dinilai nyata atau ghaib, dan tidak mungkin keduanya, artinya benda tersebut sudah pasti ada hanya masalah terlihat atau tidak terlihat . Kedua suatu benda memungkinkan dinilai dengan tambahan dipercaya keberadaanya, maka penilaian menjadi dipercaya nyata atau dipercaya ghaib. Akan tetapi jika suatu benda itu tidak dipercaya keberadaanya, maka penilaian ghaib atau nyata tidak bisa dipergunakan.

Kenapa menjadi pelik, karena dalam agama telah disampaikan oleh Tuhan, bahwa ciri orang beriman salah satunya adalah percaya pada yang ghaib, sehingga ketika parameter keyakinan mulai dijadikan sebagai variable penilaian, maka penilaian ini kemudian disangkutpautkan dengan tingkatan keberagamaan seseorang, atau lebih pelik lagi jika dihubungkan dengan sah atau tidaknya keberagamaan seseorang.

Jangan bahas rukun iman, karena bagi sebagian besar, ini mutlak dipercaya jika ingin dikatakan orang beriman (berislam). Mari kita cari contoh hal yang harus dipercaya tapi memiliki berbagai penafsiran. Sebagai contoh mengenai siksa kubur. Sebagian menganggap hal ini ada, karena tidak terlihat maka siksa kubur dinilai dipercaya ghaib. Tapi bagi mereka yang menganggap tidak ada, maka siksa kubur tidak bisa dinilai nyata atau ghaib.

Oleh karena itu, saya ingin mengajak bagi siapapun Anda yang ingin menilai apakah sesuatu itu nyata atau ghaib, pertama, pastikan Anda percaya (mengimani) akan keberadaa sesuatu tersebut, karena inilah parameter utama. Kedua, percaya sangat dipengaruhi oleh kesimpulan pengetahuan (walaupun pengetahuan tidak mutlak berkorelasi positif dengan keimanan). Ketiga, kesimpulan pengetahuan dipengaruhi oleh sumber pengetahuan dan metode interpretasi (kaidah yuresprudensi). Keempat, karena sumber pengetahuan bersifat objektif, akan tetapi memungkinkan setiap orang menggunakan sumber pengetahuan yang tidak sama. Sementara itu, metode interpretasi bersifat sangat subjektif, sehingga memungkinkan setiap orang menggunakan metode interpretasi yang berbeda.

Dengan demikian, dengan metode interpretasi yang berbeda dan sumber pengetahuan yang berbeda sangat memungkinkan menghasilkan kesimpulan pengetahuan yang berbeda pula. Oleh karena itu penyimpulan sesuatu itu nyata atau ghaib memungkinkan tidak sama. Tentu saja tulisan diatas sebatas ruang lingkup akal saya pribadi, tentu saja memungkinkan berbeda pendapat dengan Anda semua yang sama-sama dikarunia akal. Apalagi jika ruang lingkup ‘hati’ ditambahkan dalam pembahasan, tentunya akan semakin subjektif.

Astaghfirullah al ‘Azhim 3x
Wallahu a’lam bi showab
Wass. Wr., Wb..