Jumat, 01 Agustus 2008

DARI MANA KITA MEMULAI

oleh at tighaliy

Umat Islam adalah pendukung amanah, untuk meneruskan Risalah dengan dakwah, baik secara kolektif ataupun secara individu, sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Firman Allah dalam Ali Imron, 110, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” Menurut M. Natsir, dakwah adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap muslim dan muslimah. Dakwah dalam arti amar maruh nahi mungkar, adalah syarat mutlaq bagi kesempurnaan dan keselamatan hidup masyarakat.

Pertanyaan besar bagi para juru dakwah adalah, dari mana harus memulai dakwah itu. sebuah pertanyaan yang lazim bagi mereka yang memiliki semangat tinggi untuk merubah masyarakat menuju ‘amar ma’ruf nahi mungkar. Apa yang harus dilakukaan pertama kali. Siapakah yang terlebih dahulu yang harus didakwahi, apakah orang yang memiliki pengaruh seperti pejabat, artis, pemain sepakbola, atau bahkan preman besar yang memiliki banyak anak buah dan pengikut? Atau juga dimulai dari siapapun yang memang mau dan siap menerima dakwah kita? Siapapun orangnya, tak menjadi masalah ketika kita berhasil mendakwahinya, atau setidaknya berusaha untuk melakukan perubahan terhadap orang tersebut, yang penting jangan sampai kita tidak melakukan dakwah.

Jika melihat urutan wahyu yang turun, mungkin dapat dijadikan gambaran langkah-lagkah teknis pelaksanaan dakwah itu sendiri. Wahyu yang pertama turun adalah suar Al-‘Alaq, ayat 1-5 (Ash Shidiqy,1992). “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakanmanusia dari ‘alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah, Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya

Nabi yang ummi (tidak pandai baca tulis) justru diberi perintah untuk membaca. Quraish Shihab menjelaskan, kata iqra terambil dari akar kata yang berarti “menghimpun”. Sehingga tidak selalu harus diartikan “membaca teks tertulis dengan aksara tertentu”. Dari “menghimpun” lair aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca, baik teks tertulis mapun tidak. Al hasil objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya. Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini bukan sekedar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak diperoleh kecuali mengulang-ulangi bacaan, atau membaca hendaknya dilakukan sampai batas maksimal kemampuan, tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang bacaan Bismi Rabbika (demi karena Allah) akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru walaupun yang dibaca itu-itu juga. “membaca dalam aneka maknanya adalah syarat pertama dan utama dalam pengembangan ilmu dan teknologi, serta syarat utama membangun peradaban”

Wahyu yang kedua turun adalah Surat Al Mudatstsir, 1-10 (Ash Shidiqy,1992), “Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan, dan Tuhan-mu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kami memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak, dan untuk (memenuhi Perintah) Tuhan-mu bersabarlah, Apabila ditiup sangsakala, maka waktu itu adalah waktu (datangnya) haru yang sulit, bagi orang-orang kafir lagi tidak mudah.

Qum faandzir, bangun dan berilah peringatan. Setelah kita “membaca”, maka kita tak boleh diam, kita harus memberi peringatan, perubahan perlahan demi perlahan. Jangan sampai kita terjebak dalam kehidupan yang penuh ketidakpedulian dengan lingkungan. Perubahan dilakukan dengan seksama, konstruktif, dan bertahap. Perubahan seperti ini sangat mungkin terwujud jika proses “membaca” memang benar-benar dilakukan secara komprehensif sehingga setiap informasi yang menjadi alasan, dorongan, dan tujuan bertindak menjadi jelas.

Tapi dari mana memulai perubahan itu, jika kita hubungakan pada surat Asy syu’ara ayat 214 yang turun setelah Adl Dluha dan Al Hajr 94 (Ash Shidiqy,1992), yaitu Waandzir asyiiratakal aqrobiina, Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. Dari ayat ini, jelas terlihat bahwa perubahan itu dimulai dari kerabat terdekat. M. Natsir dalam Fiqhud-Da’wah menterjemahkan ayat ini sebagai berikut, “Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat”, oleh karena itu menjadi pertanyaan besar bagi mereka yang memiliki kualitas sebagai juru dakwah yang terkenal di masyarakat luas namun bermasalah dalam lingkungan keluarganya sendiri, ataupun disekitar tetangga-tetangganya.

Memang banyak pembelaan dan pembenaran untuk ‘mengabaikan’ kerabat terdekat dalam berdakwah, antara lain adalah karena adanya skala prioritas dalam menentukan objek dakwah, mad’u, dimana ketika kerabat dinilai kurang mendukung jika dibandingkan dengan objek dakwah yang dinilai memiliki potensi lebih baik untuk pengembangan dakwah, maka dibolehkan untuk mendahulukan objek dakwah yang lebih berpotensi itu.

Namun, alangkah lebih baiknya jika kita memperhatikan surat Abasa, Menurut riwayat, pada suatu ketika Rasulullah s.a.w. menerima dan berbicara dengan pemuka-pemuka Quraisy yang beliau harapkan agar mereka masuk Islam. Dalam pada itu datanglah Ibnu Ummi Maktum, seorang sahabat yang buta yang mengharap agar Rasulullah s.a.w. membacakan kepadanya ayat- ayat Al Quran yang telah diturunkan Allah. tetapi Rasulullah s.a.w. bermuka masam dan memalingkan muka dari Ibnu Ummi Maktum yang buta itu, lalu Allah menurunkan surat ini sebagai teguran atas sikap Rasulullah terhadap ibnu Ummi Maktum itu.

Terlepas dari masalah siapa yang harus didahulukan diberikan peringatan (dan juga pengajaran), ada hal yang lebih penting (menurut saya), adalah bahwa juru dakwah tidaklah cukup hanya memberikan pengajaran dengan lisannya saja. Tapi setiap juru dakwah sebaiknya memberikan contoh langsung, atau teladan yang baik. Lihat saja apa yang dicontohkan Rasulullah sesampainya di Madinah (konon belum memasuki kota) ketika mendirikan masjid di ‘quba, masjid pertama yang didirikan di zaman Islam. Beliau berhenti dengan tidak banyak bicara, tapi bekerja. Beliau mulai dengan mengangat batu besar hingga terhuyung-huyung. Salah seorang sahabat berkata, “Ya Rasululah, biarkanlah, serahkanlah kepadaku mengangkatnya! Rasulullah menjawab, “Tidak, ambil (saja) batu lain yang seperti itu”. Ada sindiran yang menarik untuk para juru dakwah, jika peringatan dari Allah hanya cukup disampaikan lewat lisan saja, maka cukuplah malaikat saja yang melakukan, tidak perlu ada nabi.

Hal yang tidak kalah penting adalah bagimana menumbuhkan iman objek dakwah itu sendiri. Jelas-jelas Al Quran menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Paksaan justru akan membuat orang menjadi hipokrit dan akan semakin banyak menghasilkan pemain-pemain sandiwara yang bersedia menurut dan tunduk, layaknya kerbau yang ditusuk hidungnya untuk dimasukkan tali pengendali. Menurut M. Natsir, Iman seseorang hanya dapat ditumbuhkan dalam suasana bebas, sunyi dari tekanan dan paksaan. Memang itulah pembawaan fithrah manusia. Sayidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “hati bila dipaksa menjadi buta”.

Astaghfirullah al ‘adzhim

Wallahu a’lam bishshowab

JAS MERAH!!!

oleh at tighaliy

Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Konon atau sekedar konon itulah salah satu pesan dari seorang Soekarno, orang yang dianggap melepaskan bumi nusantara dari penjajahan negeri asing dan memasuki era kemerdekaan..kenapa konon atau sekedar konon, karena memang saya mendapatkan informasi itu dari guru sejarah waktu SMP, katanya ada di buku, dan saya nurut aja, lagian mana mungkin sih guru sejarah boong,..tapi jujur saja, mpe sekarang saya belum liat langsung tulisan itu (JAS MERAH)…

Sejarah, ya sejarah…catatan aktivitas manusia yang telah lalu dari berbagai tempat dan waktu. Dari catatan sejarah pula kita tahu pertumbuhan budaya, kebijakan para pemimpin, faktor maju mundurnya suatu bangsa dan lain-lain…mungkin karena beberapa faktor di atas lah, sejarah di mata ahli sejarah menjadi amat sangat penting.. Konon atau sekedar konon, walaupun sejarah adalah catatan aktivitas manusia yang telah lalu, namun bisa digunakan untuk kepentingan masa depan…lho begimane caranye??? Katanya sih, karena aktivitas manusia ampir mirip-mirip ama yang sebelum-sebelumnye...meneketehe…hehehe

kita bisa baca dari catatan sejarah, bagaimana sebuah negeri besar dan kuat bisa mundur kemudian hancur di awali konfik internal.. silakan di lihat di History of Arabs, Philip K Hitty, bagaimana khilafah di beberapa zaman harus carut marut akibat perebutan kekuasaan (kursi khalifah), atau kita tengok sejarah Majapahit yang harus terlena dalam pertikanan Gadjah Mada dan Hayam Wuruk..maka hebatlah pemegang imperium modern saat ini untuk mendapatkan daerah jajahan baru, daripada melakukan invasi secara frontal, lebih baik menggaet musuh internal untuk kemudian diadudombakan secara berkala sambil pembentukan opini akan pentingnya perubahan tatanan kekuasaan… ketika konflik internal telah terjadi, maka dengan mudah sang pemilik imperium menguasai negeri jajahan baru meski dengan satu lentikan jari tangan….wah..wah… hiperbola banget ya…

dengan sejarah pula kita bisa melihat seseorang mulia atau hinanya seseorang. Mulia karena dianggap telah banyak memberikan kebaikan, dan hina ketika dia memiliki komplikasi penyakit keburukan…ini bisa dilihat dari masyarakat jahiliyah (dan masih banyak di masyarakat lainnya meskipun Islam-Muhammad telah dikenal), bagaimana faktor kemuliaan keturunan telah amat kuat membentuk sistem sosial yang ada. Kemulian seseorang diturunkan tanpa kecacatan sedikit pun kepada anak-anaknya. Kemulian ini bisa ditelusuri dari mereka ahli syair yang selalu menceritakan kebaikan nenek moyangnya pada zaman jauh sebelumnya…silakan baca Toshihiko Izutsu, Konsep-konsep Etika Religius dalam Quran, untuk melihat bagaimana versi mulia atau hina orang arab jahiliyah ini..

dari sejarah pula kita bisa menikmati beberapa warisan pengetahuan, antara lain ilmu rijalul hadits, atau juga dinamakan ilmu tarikh ar-ruwwat (ilmu sejarah perawi), yaitu ilmu yang diketahui dengannya keadaan setiap perawi hadits, dari segi kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, orang yang meriwayatkan darinya, negeri dan tanah air mereka, dan yang selain dari itu yang ada hubungannya dengan sejarah perawi dan keadaan mereka…dengan ilmu ini pula dapat ditentukan, apa seseorang dengan gelar ‘sahabat’ bisa diterima atau tidak periwatannya..

itu sedikit dari fungsi sejarah, dan tentunya, sadar tidak sadar, kita pun hidup dalam sejarah, yang bisa diartikan kita pun terpengaruh dari sejarah-sejarah yang pernah kita dengar… kasus kecil yang lagi hot, yang digosok makin sip,..bagaimana kontoversinya (atau diopinikan kontroversi) gelar ‘pahlawan’ untuk Soeharto..buat mereka yang membaca sejarah, dengan cara bacanya menyatakan Soeharto itu baik, banyak jasanya, dan bermoral, maka Soerharto layak untuk mendapat gelar pahlawan. Namun bagi mereka yang membaca sejarah, dengan cara bacanya menyatakan bahwa soerhato itu jahat, jasanya adalah meninggalkan pilar kejahatan HAM dan KKN, tidak bermoral, maka pahlawan tak layak disematkan pada Soeharto, sekalipun gelar itu dari manusia..(apa lagi dari pandangan Tuhan!!!)…

melihat fungsi sejarah yang amat vital (dan juga ilmu lainnya), sekarang timbul pertanyaan. Siapakah yang menulis sejarah itu??? Apa bisa dipercaya?..dalam muqoddimah ibnu Khaldun, penulisan sejarah membutuhkan sumber yang beragam, dan pengetahuan yang bermacam-macam. Sejarah juga membutuhkan perhitungan yang tepat, dan ketekunan. Kedua sifat ini membawa sejarahwan pada kebenaran, dan menyelematkannya dari berbegai ketergelinciran dan kesalahan. Sebab apabila catatan sejarah mereka (sejarahwan) hanya didasarkan pada bentuk nulikan, dan tidak didasarkan pada pengetahuan yang jelas tentang prinsip-prinsip yang ditarik dari kebiasaan, tentang fakta=fakto poltik yang fundamental, tentang watak peradaban, dan tentang segala hal-ihwal yang terjadi dalam kehidupan sosial manusia, seta, selanjutnya, apabila sejarah tidak diperbandingkan antara materinya yang ghaib dengan materinya yang nyata, antara yang baaru dengan yang kuna, pasti akan ditemukan batu penghalang, ketergelinciran, dan kekhilafan di dalam berita sejarah tersebut.

Masih menurut ibnu khaldun, keterangan sejarah, menurut wataknya, bisa dirembesi dengan kebohongan. Faktor yang menyebabkan antara lain:

Pertama, adanya semangat terlibat (tasyayyu Ar, partisanship Ing) kepada pendapat-pendapat dan mazhab-mazhab. Apabila pikiran dalam keadaan netral dan normalnya menerima informasi, diselidikinya dan dipertimbangkannya informasi itu, sehingga ia dapat menjelaskan kebenaran yang terdapat di dalamnya. Namun, apabila pikiran dihinggapi semangat terlibat terhadap suatu pendapat dan kepercayaan, maka dengan serta merta pikiran akan menermia setia informasi yang menguntungkan pendapat atau kepercayaanya. Oleh karena itu, semangat terlibat merupakan penutup terhadap pikiran, mencegahnya untuk mengadakan kritik dan analisa, dan membuat pertimbangannya condong kepada kebohongan. Akibatnya kebohongan itu diterima dan dinukilkan.

Kedua, terlalu percaya kepada orang yang menukilkan.

Ketiga, tidak sanggup memahami maksud yang sebenarnya. Maka banyak sekali para penukil tidak mengetahui maksud sebenarnya dari observasinya, atau segala sesuatu yang ia pelajari hanya menurut pikiran dan pendengarannya saja.

Keempat, asumsi yang tak beralasan terhadap kebenaran suatu hal, ini sering sekali terjadi. Pada umumnya asumsi itu muncul dalam bentuk terlalu percaya terhadap kebenaran para penukil.

Kelima, ketidaktahuan tentang bagaiaman kondisi-kondisi sesuai dengan realitas, disebabkan kondisi-kondisi itu dimasuki oleh ambisi-ambisi dan distrosi-distorsi artifisial (penyimpangan yang dibuat-buat). Sang informan puas menukilkan seperti apa yang diliatnya, bahkan karena distorsi artfisialnya itu dia sendiri tidak mempunyai gambaran yang benar tentang kondisi-kondisi tersebut..

Keenam, adanya fakta bahwa kebanyakan orang cenderung mengambil hati orang-orang yang berpredikat besar dan orang-orang yang berkedudukan tinggi, dengan jalan memuji-muji, menyiarkan kemasyhuran , membujuk-bujuk, menganggap baik seala perbuatan mereka dan memberi tafsiran yang selalu menguntungkan terhadapt semua tindakan mereka. Hasilya informasi yang dibpublikasikan dengan cara demikian menjadi tidak jujur, dan menyimpang dari yang sebenarnya. Manusia amat senang dipuji, dan manusia pada umumnya mencari kesenangan dunia dan mencari segala jalan untuk mencapai kesengangan itu, seperti kehormatan dan kekayaan. Pada umumnya mereka tidak mencari perbuatan-perbuatan yang mulia atau mencoba mendapatkan kebaikan orang-orang yang mulia.

Ketujuh, ketidaktahuan tentang watak berbagai kondisi yang muncul dalam peradaban. Setiap peristiwa baik yang berhubungan dengan esensi maupun yang dihasilkan oleh perbuatan, pasti mempunyai watak khas untuk esensi persitiwa tersebut dan juga untuk kondisi-kondisi peristiwa yang terdapat didalamnya. Oleh karena itu, apabila si pendengar mengetahui watak peristiwa-peristiwa, dan keadaan serta syarat yang dibutuhkan di dalam dunia eksistensi, pengetahuan itu akan membantunya untuk membedakan yang benar dari yang tidak benar di dalam pemeriksaan informasi secara kritis.pengetahuan ini jauh lebih efektif dipergunakan dalam pemeriksaan informasi yang kritis dariapada aspek lain yang ada hubungannya dengan hal tersebut..

Walaupun sejarah bisa bohong, bukan berarti kita pun dengan serta merta meninggalkan setiap informasi, namun pula diingatkan untuk tidak selalu percaya secara mutlak kepada kebenaran tanpa pernah menganalisisnya dengan kritis..

Kita juga sebaiknya memberi apresiasi kepada mereka yang menamakan dirinya atau diberi nama oleh kelompok lain sebagai ingkar-sunnah, karena telah kritis dengan polemik benar tidaknya ,shahih tidaknya sunnah, walau mereka mengambil jalan untuk tidak percaya sepenuhnya kepada as-Sunnah…buat kita bukan menghakimi, tapi seharusnyalah melakukan kontak diskusi dengan mereka (ingkar-sunnah), karena ulama jaman dahulu telah memberikan jalan untuk menilai kebenaran suatu hadits, dan metode inilah yang kita perkenalkan pada mereka..

Coba kita kritisi dan telaah pendapat jalaludin rakhmat, dalam Al Mustofa, Studi Kritis Tarikh Nabi,..yang saya pahami dari cara saya membaca yang tentunya terbatas, bagaimana kondisi politik sosial yang berlangsung juga mempengaruhi penilaian benar dan tidaknya setiap hadits, layak atau tidaknya seorang perawi untuk meriwayatkan hadits…

Sejarah memang bisa bohong, tapi bukan berarti kita kemudian sekedar mengikuti pendapat ulama terkenal, atau ulama yang kita kenal secara mutlak dan serta merta menyampingkan pendapat ulama lainnya…

Sejarah memang bisa bohong, dan itulah kenapa kita harus selalu iqra’ iqra’…dan iqra’…, terus baca, kumpulkan berbagai informasi dan mengambil yang terbaik diantaranya.. apa pun hasil kesimpulan itu, tak pula menjadikan kita berhak menilai orang lain yang tak sejalan adalah salah…

Ada ungkapan yang sering dinisbahkan kepada Abu Hanifah "Hum rijal wa nahnu rijal" (mereka adalah expert, tapi kita juga expert). Ini berarti bahwa dalam tataran dialogis para ulama memposisikan level mereka ada pada level yang sama, makanya iklim dialog berlangsung terus dan dan hasilnya sangat produktif, terbukti khazanah intelektual Islam menjamur subur pada masa Islam klasik.

Sikap saling menghargai juga dapat dilihat dari ungkapan Abu Hanifah (kira2 begini)"Ra'yuna shahih yahtamilul khatha', wa ra'yukum khatha' yahtamilush shahih" (pendapat kita benar [menurut kita] tapi ada kumungkinan salah, dan pendapat mereka salah [menurut kita] tapi ada kemungkinan benar).

So, kita harus berani mulai menyisakan

JENIS-JENIS KEBAIKAN

oleh at tighaliy

Dalam al Quran terdapat beberapa kata yang diduga sinonim. Yaitu kata-kata yang berbeda namun memiliki arti yang identik atau sama. Kata yang diduga sinonim ini antara lain kata-kata yang berarti baik, yaitu : ma’ruf, khoir, hasan, dan birr. Ketiga arti ini memiliki arti yang sama yaitu baik/kebaikan jika dilakukan penterjemahan al Quran ke dalam bahasa Indonesia.

Kata ma’ruf berasal dari arif yang berarti diketahui/dikenal, hal ini menunjukkan (menurut saya) kebaikan yang ma’ruf adalah kebaikan-kebaikan yang telah diketahui/dikenal secara umum, atau kebaikan yang pelakunya sendiri telah mengetahui bahwa hal itu adalah kebaikan.

misalnya dapat ditemui dalam surat Ali Imron 110


Artinya : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”

Jika saya boleh menafsirkan, kebaikan-kebaikan apa yang harus diseru dalam amal ma’ruf nahyi munkar ini, yaitu kebaikan-kebaikan yang telah diketahui oleh orang-orang atau pelaku kebaikan itu sendiri. Untuk itu bagi siapapun yang memposisikan dirinya sebagai juru dakwah, bijaksanalah dalam memberikan dan menyeru ajakan-ajakan kebaikan. Setiap orang berbeda kapasitasnya, oleh karena itu kebaikan yang diserukan alangkah lebih baiknya jika disesuaikan dengan orangnya.

Jika seorang preman pasar mengetahui kebaikan itu sekedar tidak memukul ketika meminta uang dengan paksa, maka seru lah ia ketika meminta uang jangan disertai pemukulan. Jika kebaikan-kebaikan ini telah dibiasakan, akan ada peluang, preman pasar ini mengetahui jenis-jenis kebaikan yang lain, misal bertutur kata lemah lembut, sekalipun dalam hal meminta uang, karena siapa tahu, atau kita tak pernah mencari tahu, bahwa dalam benaknya preman pasar itu suatu pekerjaan.

Kebaikan selanjutnya berasal dari kata khoir, asal kata khoir dekat dengan khiyar, yang berarti pilihan. Oleh karena itu khoir, merupakan kebaikan-kebaikan yang dalam pelaksanaanya hasil dari memilih. Kata khoir dapat dijumpai dalam al Quran misalnya surat ali Imron ayat 104.


Artinya : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”

Ketika preman pasar tersebut telah dibiasakan dengan kebaikan-kebaikan yang diketahuinya atau dikenalnya, maka ia kini berada dalam pengetahuan bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk berbuat baik atau sebaliknya. Jika ia senantiasa diseru secara berkesinambungan, maka ia tetap akan berada dalam kebiasaannya. Sebuah kebaikan kini dibebaskan pilihannya kepada sang preman apakah akan meminta uang dengan tutur kata yang lemah lembut atau sama sekali tidak meminta uang. Selanjutnya sangat mungkin ia memilih untuk tidak lagi meminta uang karena kasih sayangnya yang merupakan hasil dari pembiasaan bertutur kata lemah lembut ketika meminta uang.

Kebaikan lain yang ada dalam al Quran menggunakan kata hasan. Hasan ini dekat dengan maslahat, yaitu kebaikan yang memberikan manfaat tidak hanya untuk dirinya tapi sekelilingnya. Kata hasan bisa ditemukan misalnya pada surat Al Baqoroh 195


Artinya : “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”

Jika preman pasar tadi telah menghentikan aksi meminta uangnya, maka jika ia akan berbuat baik, maka tak sekedar menghentikan meminta uang sekalipun dengan tutur kata yang lemah lembut. Sang preman kini berusaha lebih legal, misal ia memberikan keamanan dari pencurian, pencopetan, penjambretan dan segala jenis tindak kriminal di pasar. Menjadi legal ketika jasa pengamanan ini merupakan hasil kerjasama dan kesepakatan telah ditulis hitam di atas putih, baik tugas dan kewajiban preman pasar maupun haknya, yaitu gaji. Singkat kata preman pasar kini menjadi satuan kemanan pasar.

Kebaikan lain yang ada dalam al quran adalah birrun. Birrun ini merupakan kebaikan dimana pelaku kebaikan tak lagi mencari keuntungan bagi dirinya ketika ia berlaku baik. Kata birrun dapat ditemukan misalnya pada surat ali Imron ayat 92.

Artinya : “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”

Jika preman pasar telah teguh komitmen dengan pekerjan barunya, satuan kemanan pasar. Maka ia tak lagi memikirkan keuntungan bagi pribadinya. Gaji bulanan ia pandang penting tapi bukan yang utama. Ia kini berani ketika harus membela wanita tua pengunjung pasar ketika di todong oleh preman pasar temannya, sekalipun ia harus menjadi pengganti ketika sebuah pisau lipat menancap ke jantungnya. Memang benar tak ada keuntungan bagi sang preman pasar (yang kini menjadi satuan keamanan pasar) ketika ia memilih melindungi wanita tua dari ancaman kematian, bahkan kematianlah yang kemudian menimpa dirinya. Tapi bagi dirinya mempertahankan hak hidup orang lain adalah kebaikan meski harus kehilangan kehidupannya.



Wallahu ‘alam bishsowab

Sejarah mengajarkan….

oleh at tighaliy

Dalam Muqoddimah Ibnu Khaldun, secara eksplisit (setidaknya interpretasi saya), ada sebuah pertanyaan besar, bagaiamana manusia bisa memetik hikmah dari sejarah, bagaimana untuk kemudian manusia diharapkan tidak mengulangi kesalahan yang sama sehingga ikut menorehkan tinta merah (darah) dalam sejarah untuk anak-cicitnya...

Dalam al Quran, tentunya semampu saya dalam menginterpretasikan yang sebenarnya bisa dikatakan tidak mampu, amat banyak diceritakan bagaimana umat terdahulu kemudian harus menerima hukuman dari Allah SWT ketika masih di dunia, dan polanya hampir sama, tidak mau berterima kasih dengan pemberian nikmat-nikmat yang Allah berikan hingga akhirnya penolakan keterlibatan Allah dalam kehidupannya...

Namun, pernahkan kita memperhatikan sejarah yang tak pernah dicatat dengan detail oleh al Quran (sekali lagi tidak dicatat dengan detail), mungkin akan banyak energi yang harus kita habiskan untuk mau dan mencoba mencurahkan melihat sesuatu yang tak berlabelkan Islam atau memiliki simbol-sibol Islam di dalamnya, sekalipun sejarah yang tak berlabelkan Islam tersebut sebenarnya bisa memberikan kita pelajaran berharga..

Dahulu kala, ketika Eropa tak pernah berfikir untuk menerapkan sekuleristik, bagaimana kaum agama yang diwakili kaum gereja (khatolik) amat mampu mengontrol masyarakatnya yang juga warga negara yang dipimpin raja,. Norma dan etika yang dikembangkan tentunya etika ke-khatolikan. Bahkan, begitu kuatnya pengaruh gereja, hingga kekuasaan negara nyaris bisa dikatakan di bawah otoritas gereja.

Namun apa yang terjadi ketika mulai terjadi perbedaan pandangan atau pendapat di sesama umat khatolik, mulai dari ‘kompetisi’ antara gereja roma dan gereja yunani, munculnya protestan,.dan banyak kasus skiisme dalam umat nashrani lainnya..mari kita lihat yang terjadi di daratan eropa (yang menjadi basecamp nasharani), kemudian pimpinan gereja mengeluarkan maklumat perang suci, perang atas nama agama, perang atas nama tuhan, untuk memerangi saudara mereka sendiri yang memiliki pandangan atau pendapat yang berbeda dalam menafsirkan kehendak tuhan.. atas nama agama, atas nama tuhan, darah saudara sendiri tertumpahkan, bahkan menjadi dianggap benar, karena tuhan dianggap menghendakinya....

Butuh cukup waktu yang amat lama bagi masyarkat nashrani di sana untuk bisa menghilangkan ketraumaan mereka, akan ‘kesewenang-wenangan’ atas nama agama untuk justifikasi peperangan yang sudah banyak menimbulkan kengerian dan mimpi buruk,...mereka mulai menyanyakan kembali apa yang mendasari pembunuhan atas nama tuhan, benarkah alasannya bisa diterima oleh tuhan itu sendiri,..

Ketika kengerian demi kengerian mereka alami, akhirnya mereka memutuskan lompatan besar, atau kita kenal dengan renesain, (maaf kalo salah tulis) yang kemudian memutuskan untuk membatasi peranan gereja, hingga akhirnya menolak keberadaan agama untuk mengurus warga negeranya secara kolektif...

Apa mungkin umat Islam akan melakukan kesalahan yang sama, ketika setiap perbedaan kemudian disikapi dengan kekerasan atas nama tuhan? Lalu dimana orang-orang yang dengan bangga menyatakan dirinya tukang dakwah, dimana mentalitas mereka, yang hanya karena telah beramar ma’ruf (dalam versi mereka tentunya) satu atau dua kali, terus merasa berhak melakukan anarkisme bahkan atas nama tuhan pula ketika objek dakwah tidak mau mengindahkan mereka???

Sekalipun orang lain mau benar-benar kafir, bukankah Allah telah memberikan kebebasan untuk manusia seperti itu, lalu mengapa ada manusia yang merasa berhak untuk melakukan ‘penghukuman’ kepada orang lain yang dianggap kafir oleh dirinya?

Ya Rasulullah, rindu kami pada mu....

Astaghfirullah...

Astaghfirullah...

Astaghfirullah...

Wallahu a’lam bishshowab

Siapa Kafir Itu???

oleh at tighaliy

Menjawab pertanyaan tersebut bisa mudah bisa juga rumit, atau bahkan tak akan terjawab..sepertinya, siapa pun yang ingin menjawab tersebut menurut saya adalah orang yang sangat hebat dan tentunya memiliki ilmu yang amat luas, atau bisa jadi sekedar merasa memiliki ilmu yang amat luas, sehingga dengan gagahnya berani menempatkan diri sebagai penilai dan pengadil dalam lahan teologi.

Sebenarnya yang dikhawatirkan adalah efek dari jawaban tersebut, yang berupa fatwa atau putusan hukum akan status seseorang atau sekelompok orang yang bisa menimbulkan sikap berlebihan. Fatwa ini mengkhawatirkan, karena fakta yang tertulis dalam sejarah (sekalipun sejarah bersifat subjektif penulisnya), banyak sekali darah yang mesti mengalir sebagai efek dari fatwa peng-kafiran ini..

Yang juga harus menjadi pertanyaan adalah, adakah hak manusia untuk menjawab pertanyaan itu? jika ada, manusia yang bagaiamana kah yang boleh menjawab pertanyaan itu? dalam kedudukan apa ia boleh menjawab? Apakah kedudukan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan? Saya rasa, pertanyaan ini juga hanya bisa dijawab oleh orang yang memiliki ilmu yang amat luas, atau juga mereka yang sekedar merasa memiliki ilmu yang amat luas..

Menurut Isfahani, yang dikutip oleh Quraish Shihab, kufur (kafaro) merupakan lawan kata dari syukur (syakaro). Syukur ini bisa diartikan secara harfiah membuka, sehingga syukur mengandung arti gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan. Dengan demikian, kufur ini bisa diartikan menutup, dan atau melupakan nikmat dan menutup-nutupunya. Sependapat dengan Quraish Shihab, Toshihiko Izutsu juga mengartikan kufur sebagai sikap tidak berterima kasih. Namun Toshihiki Izutsu lebih menempatkan arti ini sebagai arti pra-Quranik. Namun setelah turunnya al-Quran, kafaro ini juga sering berada dalam satu kalimat dengan islam ataupun iman sebagai antonim, sehingga memiliki arti baru (yang biasanya dia sebut sebagai makna relasional).

Mungkin kita mesti memperhatikan, peristiwa yang menurut Afif Muhammad, Dari Teologi ke Ideologi, sebagai peristiwa pengkafiran pertama, dimana seorang muslim dikafirkan oleh sesama msulim lainnya. Seorang menantu Nabi, seseorang yang dikatakan dalam sebuah hadits sebagai kunci dari gudang ilmu dan termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk surga, Ali bin Abi Thalib dikafirkan oleh mereka yang oleh Syahrastani, Al Milal wa Al Nihal, dikelompokkan sebagai Khawarij.

Toshihiko Izutsu, dalam Konsep Kepercayaan Dalam Teologi Islam, yang menjelaskan analisis semantik iman dan Islam, menjelaskan bahwa istilah kafir yang digunakan oleh khawarij ini telah mengalami pergeseran makna. Kafir yang makna semantiknya lawan kata iman (pada masa Quranik), yaitu sebagai ‘orang yang menolak’ atau ‘orang yang tidak percaya’ diselewengkan menjadi mereka yang memiliki interpretasi atau pemahaman yang berbeda. Dalam hal ini, Khawarij telah terjebak dalam klaim sebagai kelompok paling benar.

Yang tak bisa dilupakan adalah, bahwa khawarij ini terlahir dari romantika politik saat itu (siapa yang layak menjadi khalifah). Kaum khawarij, seperti yang ditulis Syahrastani, khususnya kelompok Muhakkimah, mendasarkan pemberontakannya salah satunya pada hal mengenai imamah (kepemimpinan umat) diperbolehkan kepada orang lain selain orang quraisy, yang penting adalah seorang imam memimpin memerintah rakyat harus sesuai dengan ide-ide keadilan dan kesetaraan menurut pandangan mereka (khawarij).

Versi lainnya, khawarij terpaksa mengkafirkan Ali bin abi Thalib untuk menyelamatkan dirinya dari ancaman ayat yang menyatakan pembunuh muslim layak diganjar dengan Jahannam. Sehingga mereka mengkafirkan Ali, sehingga mereka bisa berdalih bahwa mereka tidak membunuh seorang muslim melainkan membunuh seorang kafir.. dan tentunya berbagai versi lainnya.....

Bukan maksud saya kembali menulis sejarah, karena saya pun tak tahu apa-apa, tapi mungkin kita bisa napak tilas, bagaimana umat ini menjadi tercerai berai bahkan terlibat pertikaian berdarah dengan sesama alhlul-kiblat...namun sebagai pengingat, bahwa proses pengkafiran pertama ini dimulai dengan berbedanya pendapat, dan salah satu pihak yang terlibat dalam perbedaan pendapat tersebut memainkan peran yang keluar dari koridor yang seharusnya, yaitu memainkan peran sebagai penilai, pengadil, dan pengambil tindakan (eksekusi)..

Sejenak kita kembali ke masa lalu, khusunya masa dinasti Abbasyiah,

Jadi, amat menyeramkan sekali jika, mereka yang memiliki kekuasaan dan kekuatan (yang belum tentu mendapat otoritas secara hukum Allah), kemudian mengeluarkan fatwa kafir atau tidak kafir, sesat atau tidak sesat,..apalagi jika konflik politik sedang berlangsung, maka siapapun lawan politik penguasa, keamanan dirinya amat sangat terancam, apalagi jika ‘penghilangan’ lawan politik ini mendapatkan pembenaran atas nama agama, atas nama Tuhan...

so, what the conclusion???

Jumat, 25 Juli 2008

Doa Nabi Muhammad Yang Tertolak

Dalam sebuah hadits Qudsi yang diriwayatkan Muslim, berkata Abu Bakar bin Abu Syaibah menuturkan kepada kami: Abdullah bin Numair menuturkan kepada kami: Bapakku menuturkan kepadaku: Ustman bin Hakim menuturkan kepada kami: Amir bin Sa’d menuturkan kepadaku dari bapaknya, bahwa Rasulullah Saw datang dari satu tempat yang tinggi dan ketika beliau melewati mesjid milik bani Mu’awiyyah, beliau memasukinya dan melaksanakan shalat dua rakaat, dan kami pun shalat bersamanya. Kemudian beliau berdoa kepada Tuhannya, dengan doa yang sangat panjang, lalu beliau membalikkan badannya kepada kami dan berkata: “Aku telah memohon kepada Tuhanku tiga perkara, namun dia memberiku dua saja, dan yang satunya Dia menolaknya. Yang pertama yang aku mohonkan adalah agar Dia tidak membinasakan umatku dengan paceklik dan Dia mengabulkannya, kemudian aku memohon agar Dia tidak memusnahkan umatku dengan banjir yang menenggelamkan mereka dan Dia mengabulkannya. Dan yang terakhir aku memohon agar Dia tidak menjadikan kemalangan dan malapetaka yang menimpa mereka karena disebabkan perbuatan dari sebagian mereka, tapi Allah menolaknya”

Adapun dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, tiga permohonan tersebut adalah agar umatnya (umat nabi Muhammad) dibebaskan dari kelaparan, mencampurkan ke dalam golongan yang bertentangan, dan sebagian dari umatnya merasakan keganasan sebagian yang lainnya. Namun Allah hanya mengabulkan dua yang pertama, Allah berjanji tidak akan menimpakan kelaparan ataupun mengumpulkan (musuh-musuh umatnya) yang ada di seluruh bagian bumi ini untuk menhancurkan mereka. namun permohonan yang ketiga ditolak, sehingga mereka (umatnya) sendiri yang akan saling memusnahkan dan saling membunuh satu sama lainnya.

Adapun dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Nasai, tiga permohonan tersebut adalah, agar umatnya tidak dibinasakan dengan apa yang menimpa umat terdahulu dan Allah mengabulkannya, dan agar musuh tidak dimenangkan atas umatnya dan Allah pun mengabulkannya, dan yang terakhir agar umatnya tidak terbagi-bagi dalam berbagai golongan, namun Allah menolaknya.

Diluar kebaikan dan kasih sayang yang begitu besar dan luar biasa tulusnya, nabi Muhammad memohonkan kepada kita agar terbebas dari berbagai macam musibah, apakah musibah itu dalam bentuk paceklik, kelaparan, diserang oleh musuh, banjir ataupun berbagai macam bencana yang telah Allah kirimkan kepada umat-umat sebelum kita. Menarik untuk kita amati adalah, bagaiamana doa nabi yang tertolak, yaitu bencana yang ternyata dimulai dari dalam diri umatnya sendiri, dalam diri umat muslim itu sendiri. Yaitu tatkala umat muslim ini kemudian muncul dalam berbagai macam golongan, dan diantara mereka kemudian menjadikan pertentangan sebagai alasan untuk saling menghancurkan.

Mungkin jika munculnya golongan tersebut hanya akibat faktor geografis dan kultur atau tradisi, itu tak mengapa. Namun, jika golongan-golongan tersebut kemudian menjadikan golongan lain sebagai musuh, yang kemudian saling menyakiti, maka ceritanya menjadi lain. Hal ini akan menjadi bencana. Bukankah seorang muslim itu jika saudaranya lepas dari gangguan tangan dan lisannya.

Lalu apa yang menjadi penyebab umat Muhammad ini bisa terbagi menjadi berbagai golongan, bahkan hingga saling membinasakan. Tentunya banyak pendekatan yang bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan ini, namun sekiranya boleh, mari kita lihat bagaimana karakter utama yang menjadi cikal bakal perpecahan ini.

Karakter utama ini sebenarnya telah muncul sejak penciptaan manusia pertama, nabi Adam a.s. namun karakter utama ini sebenarnya justru bukan berasal dari nabi Adam a.s itu sendiri, melainkan dari Iblis. Iblis yang ketika itu diperintahkan untuk bersujud oleh Allah SWT. kepada Adam justru menolak perintah tersebut dengan mengatakan, “Saya lebih baik dari Adam”. Sebuah pertanyaan yang menyatakan ketakaburan, merasa diri besar, merasa diri lebih mulia, merasa diri lebih benar dari yang lainnya.

Jika karakter Iblis ini kemudian hinggap di hati manusia, maka akan ada manusia terhinggapi penyakit takabur, merasa benar sendiri, bahkan merasa mulia di hadapan Allah. Padahal Iblis sendiri justru menjadi makhluq hina ketika membuat dosa merasa lebih mulia dihadapan Allah.

Hidup berkelompok sebenarnya adalah fitrah manusia, karena manusia memang tercipta sebagai makhluq sosial. Namun jika hidup berkelompok ini kemudian telah dihinggapi karakter Iblis, maka akan muncul kelompok yang merasa lebih mulia dari kelompok lainnya. Merasa lebih mulia ini kemudian dimanifestasikan merasa yang paling benar. Merasa yang paling benar kemudian akan menyalahkan kelompok lainnya.

Sayangnya ada hal yang terlupakan, bahwa di dunia ini, manusia tidak hidup dalam satu kelompok, bahkan dalam satu keyakinan agama sekalipun. Dan kelompok-kelompok ini sangat mungkin terjangkiti penyakit yang sama, penyakit Iblis. Oleh karena itu, kelompok-kelompok yang ternyata memiliki keyakinan agama yang sama, masing-masing akan sama merasa benar dan menyalahkan lainnya.

Bahayanya, jika kelompok-kelompok ini menggunaan dalih agama dalam mendukung masing-masing pendapatnya. Alasan agama ini penting sebagai pembenaran alasan bertindak, karena bagaimana pun, setiap manusia memerlukan hal itu. Namun, ketika kedua kelompok ini kemudian terlibat dalam pertikaian fisik, maka pertikaian fisik ini pun di klaim sebagai usaha membela kebenaran. Dan dengan atas nama kebenaran itulah, sesama kelompok kemudian akan saling memusnahkan.

Memang, jika kita berfikiran pesimis, maka munculnya kelompok ataupun golongan yang saling memusnahkan ini telah menjadi ketentuan Allah, namun kita jangan lupa, Allah telah memberikan kita pilihan, karena Allah telah memberikan kita dua potensi taqwa dan fujur, apakah kita akan menjadi bagian orang yang berselisih tanpa tahu persis alasan perselisihan itu, atau menjadi bagian orang-orang yang berusaha untuk melahirkan ummatan wahidah.

Sayangnya, ummatan wahidah ini terkadang dipahami keliru yang mengharuskan umat islam berada dalam satu bendera, satu simbol keagamaan, sehingga masih saja ada sekelompok umat muslim dengan bendera tertentu yang menyatakan bahwa bendera Islamnya lah yang berada dalam kebenaran. Awalnya mereka akan mengajak baik-baik umat Islam yang berada di luar benderanya baik-baik, atau lebih tepatnya baik-baik dalam persepsi mereka sendiri. Baru satu-dua kali mereka mengajak secara lisan agar umat Islam diluar mereka untuk bergabung dalam satu bendera yang sama, namun tidak ada respon positif, lalu dilakukanlah cara yang lebih tegas. Bagi mereka jika tidak bisa diajak baik-baik, maka dilakukan dengan sedikit ketegasan, yang sekali lagi ‘sedikit tegas’ versi mereka. Lalu apa yang terjadi, sebuah tindak pemaksaan atas nama amar ma’ruf nahi mungkar, atas nama agama, atas nama Islam, atas nama Tuhan.

Bukankah Allah sendiri telah memberikan kebebasan untuk beriman ataupun kafir? Jika agama begitu penting, bukankah itu harus berasal dari keyakinan yang tulus pribadi pemeluknya? Bukankah tidak ada paksaan dalam beragama? Bukankah tidak ada paksaan untuk tidak beragama sekalipun?

Tidak beragama? Na’udzubillah..jangankan itu, beragama pun belum membebaskan seseorang dari kejahatan tangan dan lisan orang lain yang ternyata memiliki akidah yang sama. Kita lupa bahwa seorang muslim adalah ketika saudara muslim lainnya terbebas dari kejahatan tangan dan lisannya. Kita lupa, bahwa kehancuran umat ini adalah ketika sebagian umat muslim telah berani menyakiti umat muslim lainnya.

Cara Instant, Hasil Instant

oleh at tighaliy

Banyak orang gemar mengkonsumsi makanan instant. Selain mudah dan waktu pemasakan yang pendek, rasa pun okey. Namun, setiap makanan instant pada umumnya juga mengandung banyak bahan tambahan makanan yang bisa memberikan efek negatif terhadap tubuh.

Entah ada atau tidak hubungannya. Kegemaran masyarakat mengkonsumsi makanan instant juga menular dengan cara masyarakat mencari kebenaran (ilmu agama/pengetahuan). Instant yang dimaksud adalah tidak mau bersusah payah atau sekedar menginginkan waktu yang relatif cepat dalam mencari atau memahami kebenaran. Masyarakat, yang mungkin di dalamnya kita juga termasuk, banyak mengetahui ilmu agama dalam berbagai bentuk, pada umumnya berupa kesimpulan akhir. Kesimpulan ini tentunya merupakan hasil dari proses memahami yang merupakan hasil dari interpretasi seseorang dari sekian banyak input agumen-argumen (ilmu-ilmu) yang dicoba untuk diaplikasikan dan tentunya melalui kaidah tertentu.

Bagaikan makanan instant, pengetahuan instant-pun diminati karena waktu untuk mendapatkannya relatif lebih cepat, atau bahkan lebih mudah. Namun apakah pengetahuan yang instant akan memiliki efek yang sama terhadap ‘tubuh’ seperti makanan instant yang cenderung memberikan efek negatif bagi tubuh? Bukan pada validitas kebenaran itu sendiri yang dikhawatirkan dari proses instant mencari kebenaran, melainkan bentukan sikap yang dihasilkan.

Hal yang menarik adalah ketika kita mencoba membaca pola masyarakat ketika menyikapi perbedaan. Sadar atau tidak, masyarakat kita terkadang atau bahkan sering menyikapi dengan ‘membuta’. Jangankan memahami masalah, memahami sikap pun patut dipertanyakan. Pada umumnya anggota masyarakat cenderung mengikuti kelompok masyarakat tertentu yang menkonsumsi pengetahuan instant dengan bentuk dan ‘rasa’ yang sama.

Kebiasaan sikap yang hidup dalam lingkungan yang tak dibiasakan untuk mengambil sikap dalam berbagai pilihan yang ada semakin mengkondisikan sikap ‘membuta’ ini. Mulai dari masa kanak-kanak hingga remaja (atau bahkan dewasa), tindakan pemaksaan sering menjadi ‘makanan’ sehari-hari dalam masa pendidikan. Lihat saja orang tua yang membelikan makanan atau mainan kepada anaknya, pada umumnya anak langsung dipilihkan tanpa diberi kesempatan untuk memilih makanan ataupun mainan yang disukainya. Orang tua pun semakin mempertahankan cara seperti ini karena relatif menghabiskan waktu yang lebih cepat untuk ‘sekedar’ membelikan kebutuhan anaknya bahkan sangat dimungkinkan dilanjutkan hingga masa dewasa karena bangga memiliki anak yang penurut.

Namun akibat yang tak bisa dipungkiri adalah anak akan terbiasa untuk ‘dipilihkan’ dan ‘menerima’ apapun tanpa ada rasa ingin tahu, apakah ada pilihan lain yang boleh saya pilih? apakah pilihan itu lebih baik dan cocok bagi saya atau tidak? Hasilnya, ketika anak berada dalam lingkungan baru, sebuah lingkungan yang menyediakan banyak pilihan berbeda, ia mungkin akan memilih seperti yang pernah dipilih orang tuanya atau pilihan orang-orang yang dipercayainya tanpa pernah ingin mengetahui ada apa dan bagaimana dengan pilihan lainnya. Ia alergi dengan perbedaan.

Parahnya, seiring berjalannya waktu, saking percayanya anggota kelompok terhadap kelompoknya, alasan dan dasar pengambilan sikap tak lagi menjadi bahan yang semestinya juga tetap dikritisi. Pengkritisan cara interpretasi memang bukan perkara mudah dan yang pasti waktunya tidak sebentar, sehingga interpretasi diserahkan pada seseorang yang dikatakan ‘ahli’ dalam kelompok tersebut.
Dua kata kunci yang menjadi masyarakat merelakan untuk menjadi sekedar pengikut hasil interpretasi (kesimpulan) yaitu tidak mudah dan waktu tidak sebentar. Dua hal yang merupakan pembeda dari ‘instant’ dan ‘tidak instant’. Ke’instant’an ini hanya akan menjadikan masyarakat pemalas, buta akan apa yang diucap dan diperbuat. Semua diserahkan pada sang ‘ahli’, dan yang lebih parah lagi merasa diri (dan kelompok) paling benar.

Ke’instant’an ini menjadikan masyarakat menjadi pengekor. Akibatnya, masalah dipahami dengan mudah (sederhana) dan waktu yang (terlalu) cepat, atau bahkan masalah disikapi tanpa proses ‘memahami’ sedikitpun, semua diserahkan pada sang ‘ahli’ yang dihormati dalam kelompok tersebut. Akhirnya terbentuklah suara kelompok dan sikap kelompok inilah yang justru akan dikedepankan dalam menyikapi perbedaan.

Jika sang ‘ahli’ boleh menginterpretasikan, kenapa kita tidak. Bukankan sang ‘ahli’ manusia seperti kita juga? Jika sang ahli menjadi ‘ahli’ karena memilih untuk tidak instant, memilih untuk tidak mudah dan memerlukan waktu yang lama untuk bersikap, berucap dan bertindak, maka bagi siapapun yang memilih cara ini bolehlah kiranya mengambil sikap yang berbeda, karena ini pun hasil interpretasi.

Jika suatu kesimpulan berangkat dari pemahaman, maka kita harus berangkat dari asal pemahaman itu sendiri. Asal pemahaman dalam Islam (menurut saya) adalah Al Quran dan Sunnah Rasulullah saw, dan untuk memahami asal pemahaman ini diperlukan ilmu asal pemahaman. Memahami Al Quran tidak cukup membaca terjemahan saja, tidak pula sekedar mengeri bahasa arab yang biasa digunakan dalam percakapan. Menurut Al Qaththan, pemahaman yang baik terhadap Al Quran bergantung pada penguraian mufrodat, lafazh-lafazh dan pengertian-pengertian yang ditunjukannya sesuai dengan struktur kalimat. Tentang syarat ini, Mujahid berkata, “Tidak diperkenankan bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk berbicara tentang Kitabullah apabila tidak mengetahui bebagai dialek bahasa Arab”. Selain bahasa Arab, sebab-sebab turunnya Al Quranpun dan kaidah-kaidah para mufassir penting lainnya harus bisa dikuasai. Bagitu pula dengan memahami Sunnah Rasulullah saw, harus memiliki ilmunya.

Jika perbedaan sikap merupakan akibat dari perbedaan hasil interpretasi (usaha memahami), maka sebaiknya sikap saling menghormati dikedepankan. Selanjutnya, rasa saling menghormati ini diarahkan pada penyebab adanya perbedaan interpretasi, apakah sumber ilmu yang berbeda atau juga pembacaan masalah yang berlangsung yang tidak sama. Inilah yang semestinya dilakukan dalam menyikapi perbedaan. Kita mencari argumen-argumen dalam bersikap. Argumen yang baik tentunya kita peroleh dari pengetahuan yang tidak instant, yang tidak mudah dan tidak terlalu cepat (terburu-buru).

Ilmu Allah maha luas, dan yang diberikannya kepada kita, hanya ibarat setetes air dibandingkan dengan jumlah air di seluruh samudera. Jika setetes ini saja bagi kita sangat luas, ini menunjukkan kita hanya mengetahui sangat sedikit yang berarti pula banyak hal yang tidak kita ketahui. Jika banyak yang tidak kita ketahui, maka sangat memungkinkan sekali bagi kita untuk berbuat salah.

Lalu apsa hak kita untuk merasa paling benar???

Berakhlaq Mulia Dalam Waktu Singkat,

Oleh at tighaliy

Akhlaq berasal dari bahasa Arab. Ia adalah bentuk plural dari kata khulq, yang berarti karakter dan sifat, apakah itu baik seperti kejantanan dan keberanian, ataukah buruk seperti kepengecutan dan malu. Akhlaq merupakan karakter atau sifat yang terpatri kuat pada jiwa manusia, yang dengan mudah melahirkan tindakan tanpa melalui pertimbanga pikiran. Dalam pengertian ini mencakup nilai-nilai mulia dan hina sehingga dengan demikian terdapat dua macam akhlaq, akhlaq mulia dan akhlaq tercela.
Akhlaq mulia akan melahirkan amal shaleh yang merupakan salah satu ciri dari keimanan seseorang. Amal shaleh ini merupakan buah dari keberimanan seseorang yang berlandarkan tauhid yang kuat, dimana keshalelah ini merupakan ekses dari hubungan dia dengan Tuhannya. Namun jika hubungan antara dia dengan Tuhannya tidak beres, maka akan melahirkan amal-amal buruk yang tercela. Dengan kata lain baik atau tidaknya akhlaq seseorang sangat berkorelasi dengan baik atau tidak hubungan dia dengan Tuhannya.
Adapun akhlaq yang belum sempurna akan melahirkan etika, atau sikap-sikap yang akan melahirkan tindakan-tindakan yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Sikap-sikap bentukan lingkungan ini biasanya terbentuk dalam lingkungan ketika ia masih kecil, dan memungkinkan adanya perubahan ketika berada lingkungan yang berbeda yang didasarkan motif (tidak ikhlash) dan melalui proses berfikir.
Namun tidak semua sikap-sikap bentukan ketika masih kecil ini hanya akan menghasilkan etika. Menurut Allamah Majlisi, sebagian karakter manusia itu bersifat inheren dan kodrati pada diri manusia, sebagian lain lagi bersifat aksidental yang bisa diperoleh jiwa lewat pertimbangan pikiran, usaha berulang-ulang dan pembiasaan diri. Pembiasaan tindakan yang dipengaruhi lingkungan harus dirubah secara berangsur-angsur menjadi pembiasaan tindakan yang dipengaruhi oleh keimanan khususnya setelah ia mencapai akil baligh.
Berbagai cara dan metode berusaha dicobakan untuk menghasilkan suatu generasi yang memiliki akhlaq mulia. Sistem pendidikan dengan pendekatan keagamaan telah dilakukan sejak masa kanak-kanak, misalnya dengan maraknya Taman Pendidikan AlQuran, dimana berbagai tindakan-tindakan baik mulai dibiasakan pada setiap anak. Pembiasaan ini dilanjutkan ketika anak-anak memasuki jenjang pendidikan dasar.
Namun harus selalu diingat, bahwa kebiasaan tindakan baik ini hanya akan menjadi etika ketika tidak dilandasi dengan keimanan. Oleh karena itu mendekati fase pendidikan menengah, pada umumnya memasuki usia akil baligh, pendidikan keagamaan harus ditingkatkan dan disesuaikan dengan kapasitas setiap anak. Motif atau pendorong tindakan sedikit demi sedikit harus mengalami perubahan, yang asalnya penghargaan lingkungan menjadi keridhoan Allah.
Untuk mencapai manusia yang paripurna, pemerintahpun mulai mengkombinasikan sistem pendidikan antra iptek dan imtaq, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikombinasikan dengan keimanan dan ketaqwaan. Kombinasi ini diharapkan bahwa dualisme iptek sebagai kekuatan pembangung atapun penghancur dapat dikendalikan dengan keimanan dan ketaqwaan, sehingga hanya akan didapatkan sisi positif dari teknologi. Konon seorang Albert Einstein pernah menyatakan, “The science without religion is blind, but religion without science is lame”, hal ini menyiratkan akan pentingnya agama yang mampu mendidik manusia untuk memiliki keimanan dan ketaqwaan untuk mengendalikan tali kekang iptek.
Rupanya, gagasan kombinasi iptek dan imtaq ini mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat luas, salah satunya melalui anjuran pelaksanaan kegiatan pesantren kilat atau bahkan diwajibkan disetiap sekolah. Tujuannya adalah bagaimana melahirkan siswa yang memiliki akhlaq mulia nantinya. Tidak hanya sekolahan, hampir setiap perusahaan besar pun mencoba memberikan kursus singkat agar pegawai atau pekerjanya memiliki akhlaq mulia. Konon atau sekedar konon, seorang yang memiliki akhlaq mulia memiliki potensi yang luar biasa dan memiliki produktivitas yang lebih tinggi.
Tapi usaha melahirkan manusia yang memiliki akhlaq mulia ini terkadang sedikit bergeser, atau bahkan tak terkendali. Pola pikir yang pragmatis justru menjadi penghambat utama, ketika keshalehan bertindak diinginkan terjadi secara mendadak dan cepat. Anak sekolah, mahasiswa, pegawai atau bahkan pejabar sengaja menjadi ‘santri kilat’ dalam pelatihan-pelatihan yang mencoba meningkatkan kemampuan spritual atau kemampuan ruhiah. Padahal harus menjadi catatan penting, jika sekedar menjadi ‘santri kilat’ maka keshalelahan yang dihasilkan pun besar kemungkinan menghasilkan ‘keshalehan kilat’ pula.
Pelatihan memang suskses menjadikan semua peserta didik menjadi orang yang social sense-nya tinggi, pemaaf, penderma, berkata dengan tutur kata yang lemah lembut, bebakti pada orang tua, atau bahkan rajin ibadah. Namun sadar tidak sadar, mau atau tidak diakui, fakta yang ada adalah bahwa pelatihan itu ternyata hanya menghasilkan keshalehan temporary bagi sebagian orang, dan hilang tak membekas setelah beberapa waktu.
Namun pelatihan ini memang efektif memberikan shock therapy bagi masyarakat agar lebih memahami tugas dan fungsi setiap diri manusia berada di dunia, oleh karena itu pelatihan tersebut harus mendapatkan follow up yang berkesinambungan. Baik pendidik atau peserta didik mesti menyadari bahwa keshalehan permanent bukanlah hasil dari pendidikan kilat, ataupun sesuatu yang bisa diupgrade instant dengan melompati semua tahap kedewasaan berfikir, melainkan proses panjang dari pendidikan yang berkesinambungan dan bertahap.



“sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan)”
(Q.S. Al Insyiqaaq 19 )


Astaghfirullah Al Azhim 3x
Wallahu A’lam Bish Shawab

ISLAMI ATAU “sekedar” MUSLIMI

Oleh at tighaliy

Islam adalah agama yang lengkap atau sempurna. Islam mengajarkan, siapapun pemeluknya, muslim, yang melaksanakan kehidupan sesuai dengan ajaran Islam akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, hampir setiap muslim akan berusaha untuk bisa memahami dan mengaplikasikan Islam dalam segala bidang kehidupan. Untuk dapat memahami Islam, kita harus menyandarkan segala sesuatu pada sumber pemahaman Islam itu sendiri. Dalam Islam, yang saya tahu, Al Quran lah sumber pemahaman utama itu, kemudian ada sumber pemahaman lainnya yaitu Sunnah nabi Muhammad saw. secara umum inilah yang kemudian dinamakan asal pemahaman itu, atau ushul fiqh. Oleh karena itu segala sesuatu yang akan kita kerjakan ada baiknya memiliki reasoning atau alasan atau acuannya. Acuan tersebut harus bersumber dari asal pemahaman itu sendiri, acuan tersebut harus bersumber dari Al Quran dan Sunnah.
Pada waktu ketika Rasulullah masih hidup, beliaulah yang dijadikan sandaran dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan kehidupan beragama. keputusan Rasulullah ini menjadi hukum, baik berupa fatwa atas suatu kejadian, putusan terhadap perselisihan, atau pun jawaban dari pertanyaan. Singkatnya, masa awal Islam, segala hukum fiqh (pemahaman) dalam kehidupan beragama khususnya, disandarkan pada hukum Allah dan Rasulnya, yang bersumber dari Al Quran dan Sunnah.
Pasca meninggalnya Rasulullah, khusunya zaman para sahabat, muncul kejadian-kejadian baru yang tidak ada pada zaman Rasulullah. Dalam keadaam urgent para sahabat melakukan ijtihad untuk memutuskan perkara, memberi fatwa, menetapkan hukum syariat dan menyandarkan pada hukum-hukum periode awal sesuai dengan hasil ijtihadnya. Pada masa ini hukum fiqh (pemahaman), disandarkan pada hukum Allah dan Rasulnya, serta fatwa sahabat dan keputusannya, yang bersumber dari Al Quran, Sunnah dan ijtihad sahabat. Harus digaris bawahi, adalah bahwa hasil ijtihad sahabat pada masa ini belum dilakukan pembukuan dan penetapan terhadap hukum yang bakal terjadi, tetapi penetapannya secara kasuistik belaka.
Periode selanjutnya, periode tabiin, dan Imam-imam mujtahid (abad ke dua dan ke tiga hijriyah), Islam semakin berkembang dan banyak orang-orang di luar Arab yang memeluk Islam. Konsekuensinya, kaum muslim mendapat masalah-masalah baru, berbagai kesulitan seperti perbedaan kemampuan berbahasa, cakupan bahasan, pandangan, gerakan pembangungan material dan spiritual, yang kesemuanya itu mendorong para imam mujtahid untuk memperluas medan ijtihad dan menetapkan hukum-hukum syara atas kasus-kasus yang terjadi, serta membuka pintu bahasan dan pandangan baru bagi mereka. semakin luaslah medan penetapan hukum-hukum fiqih, dan ditetapkan pula hukum-hukum yang mungkin terjadi dengan didasarkan pada hukum-hukum pada periode sebelumnya.
Pada periode inilah, hukum-hukum fiqih terdiri dari hukum Allah dan Rasulnya, fatwa sahabat, fatwa imam mujtahid dan hasil ijtihad mereka, yang bersumber dari Al Quran, al Sunnah, ijtihad sahabat dan ijtihad imam-imam mujtahid. Pada periode ini pula mulai dibukukan hukum-hukum syara. Hukum-hukum ini disertai dalil, alasan dan dasar umum yang menjadi pokok dari hukum tersebut.
Inilah yang harus dipahami, bahwa pasca wafatnya Rasulullah, pengambilan hukum fiqh dilakukan secara kasuistik, bahkan subjektif. Tapi sesubjekti-subjektifnya pendapat seorang sahabat, mereka memberi fatwa dan putusan hukum berdasarkan nash yang mereka pahami dengan pemahaman bahasa arab yang murni. Mereka menetapkan hukum syara berdasarkan kemampuan mereka yang tersimpan dalam jiwa mereka selama menemani Rasulullah, mengetahui sebab turunnya ayat dan atau hadis dan pengetahuan mereka tentang tujuan pembuatan hukum syara dan dasar-dasar penetapannya. Adakah yang berani menyalahkannya.
Mayoritas ulama sepakat akan dalil syara yang dijadikan landasan pengambilan hukum ada empat hal, yaitu Al Quran, al Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Namun, selain empat dalil tersebut, masih terdapat dalil syara lainnya yang masih diperselisihkan penggunaannya, yaitu al Istihsan, al Mashsalah al Mursalah, Al ‘Urf, Al Istish-haab, Syariat umat sebelum kita, dan Madzhab Shahabat
Yang juga tidak boleh dilupakan adalah, sekalipun ada kesepakatan penggunaan dalil syara, namun tidak menjamin pemahaman yang dilahirkan akan sama. Setiap ahli fiqih terkadang memiliki cara pandang yang berbeda satu sama lainnya, sehingga menghasilkan hukum syara yang berbeda. Namun yang pasti setiap ahli fiqih tersebut menyertakan ruang lingkup permasalahan, alasan dan dalil yang digunakan. Sehingga kita tidak boleh menutup mata dengan kesimpulan pemahaman hukum syara yang dihasilkan tersebut adalah kasuistik, terbatas pada ruang lingkup tertentu, dan tidak selalu mutlak bisa digunakan secara umum dengan berlebihan atau over generalization.
Inilah yang harus dilakukan untuk menghindari sikap membuta, yaitu mengetahui dasar dalil yang digunakan, batasan ruang lingkup permasalahan dalam proses kelahiran suatu kesimpulan hukum. Jika kita memiliki reasoning dalam memilih satu pemahaman, maka ketika kita bertemu dengan pemahaman yang berbeda, maka kita bisa menilai dari reasoning yang digunakan. Jika memang mau berdebat, maka perdebatan bukan pada hasil kesimpulan hukum, melainkan pada metode dan landasan dalil syara yang digunakan, cara baca dan interpretasi terhadap dalil syara tersebut, yang tentunya disertai dengan sikap toleransi tinggi.
Ketika kita mengetahui reasoning setiap interpretasi pemahaman, baik yang kita pahami ataupun yang dipahami oleh orang lain yang memiliki pemahaman berbeda, diharapkan adanya penilaian yang objektif dalam menilai benar tidaknya suatu pemahaman, tidak sekedar dari kelompok mana pemahaman tersebut berasal. Hal ini tentunya diperlukan jiwa besar untuk mau mendengar dan memperhatikan reasoning orang lain, bahkan setiap saat kita perlu menyediakan ruang hati kita yang amat luas untuk menerima kebenaran lain, kebenaran yang bukan berasal dari diri kita ataupun kelompok kita. Logisnya, satu pertanyaan harus diajukan pada setiap diri kita, apa yang membuat orang lain bertindak dan memilih suatu pemahaman? Jawabannya adalah karena setiap orang memiliki alasan. Bisa jadi ketika kita memahami alasan orang lain, kita pun akan berpindah dan memilih pemahaman orang lain. Tapi jika kita ingin teguh dengan apa yang kita pahami saat ini, ada baiknya kita membandingkan secara objektif alasan-alasan tersebut, dan kita memilih yang terbaik diantaranya.
Adanya perbedaan kapasitas setiap orang Islam, atau pun ulama Islam dalam pengambilan hukum, mau tidak mau melahirkan keragaman pemahaman syariat Islam. Keragaman pemahaman syariat islam dapat dicederai ketika muncul pihak yang memposisikan dirinya sebagai hakim atau pengambil keputusan. Pihak ini kemudian terpeleset dengan memainkan perannya secara membabi buta, dimulai dengan menilai mana yang sesuai dan mana yang tidak sesuai dengan syariat Islam yang dipahaminya. Jika penilaian telah dilakukan, maka dilanjutkan dengan penegakan hukum yang juga mengatasnamakan syariat Islam. Penegakan hukum dilakukan karena pihak ini memiliki kekuatan (yang belum tentu kewenangan secara syariat) baik kekuatan dalam bentuk pengikut yang banyak, atau karena memang pihak ini berupa lembaga resmi yang didukung pemeritah. Padahal harus diakui penilaiannya pun sebenarnya adalah interpretasinya terhadap syariat Islam itu sendiri yang merupakan bagian dari keragaman pemahaman itu sendiri.
Oleh karena itu, masyarakat harus bijak dalam menilai. Sebaiknya tidak memposisikan sebagai penilai, mana yang sesuai ataupun tidak sesuai syariat Islam, tujuannya agar masyarakat tidak terjebak dalam keber-agama-an yang emosional atau sekedar ikut-ikutan salah satu pihak yang sekedar mengatasnamakan sesuai syariat Islam. Jika tidak, maka agama tidak bisa dijadikan sebagai kekuatan konstruktif melainkan akan menjadi kekuatan desktruktif.
Masyarakat harus pandai-pandai dalam menilai sesuatu yang dikatakan Islami, bukan berarti pula menilainya sebagai kafiri, akan tetapi mesti sadar bahwa Islami merupakan label yang diberikan kepada sesuatu yang mengklaim didasarkan pada Islam, oleh karena itu dengan banyaknya interpretasi pemahaman akan syariat Islam, maka akan melahirkan Islami-Islami yang lain, yang sama-sama disandarkan pada Islam. Sekali lagi ditekankan, Jika memang akan melahirkan perbedaan, perdebatan bukan pada tataran kesimpulan hukum, melainkan pada tata cara pengambilan hukum, karena tidak mungkin perdebatan pada tataran sumber hukum (jika sama-sama mengaku Islami).
Walaupun ada sekelompok masyarakat yang kita anggap salah, maka tetaplah yakin kita berada dalam kebenaran. Namun yang tidak boleh kita lupakan adalah kewajiban kita untuk menyebarkan dan mengajarkan kebenaran itu kepada sekelompok masyarakat yang kita anggap salah tersebut. Bukankah dakwah juga kewajiban seseorang yang mengaku dirinya muslim, karena bagaimana pun setiap muslim adalah juru dakwah bagi manusia lain yang ada disekitarnya. Justru ini yang kita butuhkan, mereka yang menempatkan diri sebagai juru dakwah, bukan sebagai ‘tukang menilai’ siapa yang sesuai dan tidak sesuai syariat Islam.
Mereka yang menempatkan diri sebagai juru dakwah hendaknya menyadari, bahwa dakwah (mengajak orang lain kepada kebaikan) bukanlah sesuatu yang instant, cepat dan mudah. Juru dakwah bukanlah pegawai kantoran yang memiliki jam kerja tertentu, ataupun selebritis yang memiliki jam tayang khusus. Mungkin kita ingat, bagaiamana nabi Nuh, dengan kualitas kenabiannya, berdakwah ratusan tahun namun hanya mendapatkan pengikut sedikit. Oleh karena itu, kembali ditanyakan mentalitas mereka yang menempatkan diri sebagai juru dakwah, jika sekedar berteriak sekali dua kali, diteruskan mengancam, maka mereka merasa telah melakukan dakwah secara tuntas, sehingga merasa berhak mengadili dan memvonis sekelompok masyarakat yang dianggap salah dengan berbagai aksi kekerasan dan perusakan tempat ibadah.
Masyarakat mesti pandai-pandai menilai dan membedakan antara Islam dan orang Islam (Muslim), dan sebaiknya tidak terlalu cepat menilai, bahwa setiap yang dilakukan oleh seorang muslim adalah mutlak Islami dan yang berbeda dengannya mutlak tidak Islami, karena Islam itu sendiri memungkinkan diapresiasikan dengan bermacam bentuk, ada orang islam yang mengapresiasikan dengan jenggot, sorban, celana ngatung, atau bahkan dengan poligami, sehingga akan lahir istilah Islam Jenggot, Islam tanpa Jenggot, Islam Sorban, Islam Celana Ngatung, Islam Gamis, Islam Poligami, dll.. Apapun hasil penilaian itu, jangan pula digeneralisir, yaitu jika seorang muslim melakukan suatu perbuatan yang menurut pribadinya sesuai dengan syariat Islam (Islami) maka semua umat muslim di dunia akan melakukan hal yang sama. Semua orang Islam punya sudut pandang tertentu, tapi setiap orang Islam tersebut berupaya mengapresiasi Islam dan berusaha menghadirkan Islam kepada lingkungannya dengan sebaik-baiknya sesuai kapasitasnya masing-masing untuk mewujudkan kemaslahatan. Konon, ada kaidah yang berbunyi Asysyrai'ah kulluha mashlahah, setiap kemaslahatan adalah wujud syari'ah itu sendiri.
Oleh karena itu, jika ada seorang muslim bernama A, kemudian ketentuannya adalah setiap kegiatan seorang muslim (pemeluk Islam) langsung dinilai sebagai Islami, maka masyarakat sebaiknya harus mengikutkan label tambahan, yaitu Islami “Versi A”. Bukan bermaksud menunjukkan Islam “Versi A” sebagai ‘agama baru’, melainkan masyarakat harus bijak dalam menilai, jika tidak masyarakat akan terjebak sendiri dalam fanatisme emosional golongan islam, dan akan lebih berbahaya jika fanatisme emosional ini melahirkan doktrin “Islam Saya Yang Paling Benar”. Kalau mau jujur, siapakah yang paling berhak menilai seseorang itu Islami atau tidak, (menurut saya pribadi) hanya Allah dan Rasulnya yang memiliki otoritas itu, dan bukan manusia yang dengan fanatisme emosionalnya menilai orang lain. Hanya Allah yang tahu isi hati seseorang, termasuk mereka yang dengan fanatisme emosionalnya.
Marilah kita mulai rendah hati dan bijak dalam menilai, jika seorang muslim melaksanakan kehidupannya, maka nilailah kehidupan itu sebagai kehidupan yang ‘muslimi’, dengan kata lain islami menurut kemampuan seseorang tersebut dalam berislam. Namun jika penghargaan perbedaan kemampuan berislam telah kuat, maka (menurut saya) bolehlah setiap ‘muslimi” dinilai sebagai ‘Islami’.

MENGAMBIL HIKMAH DARI SEJARAH

Oleh at tighaliy

Sejarah adalah cerita (story) masa lalu, baik kejadian maupun tokoh pelaku yang terlibat di dalamnya, yang dibahasakan baik lisan maupun tulisan yang bertujuan untuk memberikan gambaran peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Sejarah memang tak akan pernah terulang, karena memang waktu tak pernah kembali, sehingga peristiwa-peristiwa yang terjadi adalah baru. Namun jangan dilupakan salah satu fungsi sejarah adalah untuk dipelajari sehingga memberikan manfaat pada masa yang akan datang, karena peristiwa-peristiwa baru tersebut terkadang memiliki pola kejadian yang identik dengan peristiwa-peristiwa yang telah menjadi sejarah. Bahkan seorang Soekarno memberikan akronim sebagai pengingat bagi kita, “JAS-MERAH”, jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Salah satu sejarah yang paling membuat menarik bagi saya adalah sejarah mengenai kehidupan Nabi Muhammad saw, yang menurut Michael H. Hart, adalah tokoh yang paling berpengaruh karena dialah satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik dilihat dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi.

Dari sekian banyak cerita kenabian, penulis juga menemukan cerita yang menurut penulis pribadi layak untuk direnungkan. Dalam Sirah Nabawiyah (Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi) diceritakan bahwa Muhammad saw memiliki pengaruh besar dalam menyelesaikan kemelut yang timbul akibat perselisihan antar kabilah tentang siapa yang berhak mendapatkan kehormatan meletakkan hajar aswad ditempatnya.

Di literatur lain, diceritakan bahwa Muhammad saw bertambah populer di kalangan penduduk Mekah setelah beliau mendamaikan pemuka-pemuka Quraisy dalam sengketa mereka memperbaharui bentuk Ka’bah. Pada permulaannya mereka nampak bersatu dan bergotong royong mengerjakan pembaharuan Ka’bah, tetapi ketika sampai kepada peletakkan batu hitam (hajar aswad) ke tempat asalnya, terjadilah perselisihan sengit antara pemuka-pemuka Quraisy. Mereka masing-masing berhak untuk mengembalikan batu suci itu ke tampat asalnya semula.

Akhirnya disepakati yang akan menjadi hakim adalah orang yang pertama datang, dan pada saat yang kritis ini, datanglah Muhammad saw yang disambut dan disetujui mereka. Maka diambillah sehelai kain dan dihamparkannya, hajar aswad diletakkannya di tengah-tengah kain itu. Kemudian disuruhnya tiap-tiap pemuka golongan quraisy bersama-sama mengangkat tepi kain ke tempat asal hajar aswad itu. Ketika sampai ke tempatnya, maka batu hitam itu diletakkan dengan tangannya sendiri ke tempatnya. Dengan demikian selesailah persengketaan itu dengan membawa kepuasan pada masing-masing golongan. Pada peristiwa ini usia nabi sudah 35 tahun (menutu Ibnu Ishaq) dan dikenal dengan nama “al amin” yang dipercaya. Menurut Muhammad Husain Haekal, keputusan Muhammad saw. ini menunjukkan betapa tingginya kedudukannya dimata penduduk Mekah, betapa besarnya penghargaan mereka kepadanya sebagai orang yang berjiwa besar.

Merupakan suatu kehormatan (sependek yang saya ketahui) bagi siapapun yang diberikan kesempatan untuk mengelola ka’bah. Pasca Qushayy, pimpinan ka’bah di teruskan oleh Abd Dar yang diteruskan oleh anak-anaknya. Namun anak-anak Abd Manaf sebenarnya mempunyai kedudukan yang lebih baik dan terpandang juga di kalangan masyarakatnya. Oleh karena itu, anak-anak Abd Manaf, yaitu Hasyim, Abd Syams, Muttalib dan Naufal sepakat akan mengambil pimpinan yang ada di tangan sepupu-sepupu mereka itu. Tetapi pihak Quraisy berselisih pendapat: yang satu membela satu golongan yang lain membela golongan yang lain lagi.

Keluarga Abd Manaf mengadakan Perjanjian Mutayyabun dengan memasukkan tangan mereka ke dalam tib, (yaitu bahan wangi-wangian) yang dibawa ke dalam Ka'bah. Mereka bersumpah takkan melanggar janji. Demikian juga pihak Keluarga Abd'd-Dar mengadakan pula Perjanjian Ahlaf: Antara kedua golongan itu hampir saja pecah perang yang akan memusnakan Quraisy, kalau tidak cepat-cepat diadakan perdamaian. Keluarga Abd Manaf diberi bagian mengurus persoalan air dan makanan, sedangkan kunci, panji dan pimpinan rapat di tangan Keluarga Abd'd-Dar. Kedua belah pihak setuju, dan keadaan itu berjalan tetap demikian, sampai pada waktu datangnya Islam. (Haekal, Sejarah Hidup Muhammad).

Ketika peristiwa pemindahan hajar aswad ini, diceritakan adanya pertentangan antar-kabilah, adanya persepakatan La'aqat'd-Dam ('Jilatan Darah'), dan menyerahkan putusan kepada barangsiapa mula-mula memasuki pintu Shafa, menunjukkan bahwa kekuasaan di Mekah sebenarnya sudah jatuh.

Bangsa arab jahiliyah merupakan bangsa yang kebanggaan akan kelompok atau kabilahnya tinggi. Hal ini sedikit dipaparkan oleh Jalaluddin Rakhmat, dalam Al-Mustafa, walau dalam konteks menghormati tamu, menjamu jemaah haji dan juga pemberian makanan, yang ternyata bukan didasari oleh rasa kasih sayang melainkan motif kehormatan kelompok, dimana orang yang paling dermawan dapat menghiasi syair-syair pujian jahiliyah. Hal ini menunjukkan kehormatan kelompok atau kabilah menjadi sesuatu yang sangat istimewa dan sangat dibanggakan.

Jika dilihat dari kesepakatan kabilah yang berseteru dalam hal siapa yang paling berhak memindahkan hajar aswad, maka Muhammad bisa saja menggunakan kesempatan ini (aji mumpung) untuk melibatkan kelompoknya untuk terlibat dalam pemindahan hajar aswad. Namun yang menarik, menurut Kurniawan Saefullah, adalah bagaimana seorang Muhammad saw bisa keluar dari kebanggan kelompoknya. Tak satupun kerabatnya ia libatkan, bahkan semua kelompok yang berselisih ia satukan, dengan secara simbolis dimana setiap pemuka kelompok memegang ujung kain yang mengangkut hajar aswad, maka setiap kelompok merasa terlibat (dan dilibatkan) dalam pemindahan batu suci tersebut. Hasilnya setiap kelompok merasa puas dengan solusi Muhammad saw ini.

Empat belas abad berlalu, semangat kesatuan yang dibawa dan diajarkan Nabi Muhammad seolah telah luntur (jika tidak mau dikatakan hilang), khususnya sebagian besar pemimpin negeri ini. Mulai dari ketua Senat Mahasiswa atau ketua BEM, walikota, gubernur, hingga ke pemimpin republik ini, presiden. Kini, justru semangat kelompoklah yang semakin di dengungkan dengan alasan demi tegaknya ideologi.

Di tingkat kampus, siapapun ketua Senat atau ketua BEM yang berkuasa, hampir bisa dipastikan kepala departemen atau bahkan hingga anggota bidangnya didominasi oleh mahasiswa-mahasiswa yang se-“paham” dengan kelompok sang ketua. Kondisi lebih ekstrim ditunjukkan ketika hanya mahasiswa-mahasiswa yang se-“paham” dengan sang ketua lah yang dapat eksis dalam pergerakan kemahasiswaan di kampus tersebut.

Dalam ruang lingkup yang lebih luas, yaitu kota, provinsi hingga negara, intrik-intrik “kesepahaman ideologi” yang diwujudkan dalam anggota partai yang sama, semakin kentara. Siapapun yang berkuasa, maka hampir bisa dipastikan kepala departemen atau menteri yang menjabat adalah dari partai yang sama dengan pemimpin. Bahkan hampir setiap proyek diserahkan pada keluarga atau klan atau juga rekan/teman yang juga dalam kelompoknya meskipun ia tak berada dalam struktural pemerintahan tanpa memperhatikan profesionalisme dan kualitas pekerjaan.

Di sisi yang lain, keluarga/klan atau kelompok dimana anggota keluarga atau kelompoknya menjadi pemangku jabatan, merasa berhak dan layak untuk ikut serta dalam jalannya kepemimpinan tersebut, atau juga menggunakan aji mumpung, untuk mendapakan kenaikan pangkat dan jabatan, tender proyek pembangungan ataupun sekedar melakukan ekspansi usaha.

Dalam Hadits Tarbawi (Drs. H. Abubakar Muhammad), Bab X Pemimpin dan Jabatan, terdapat satu hadits yang memaparkan larangan meminta jabatan bagi yang tidak mampu, demi keselamatannya di dunia dan akhirat kelak. Terjemahan hadits tersebut adalah sebagai berikut:
“Dari Abdur Rahman bin Samurah r.a., beliau berkata: Rasulullah saw. bersabda: ‘Ya Abdur Rahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan itu karena permintaanmu, maka kamu dibebani sepenuhnya. Dan jika kamu diberi jabatan itu tanpa permintaanmu, maka kamu dibantu mengatasinya’.” (Muttafaq alaih)

Bahkan demi eksistensi kelompok (dalam hal ini partai) terjadi kemajuan (jika tidak mau dikatakan kemunduran). Yang asalnya ada kompetisi antar partai, kini menjadi koalisi antar partai. Setiap pemimpin yang berkuasa berusaha menyusun “armada”nya dengan komposisi yang disesuaikan dengan kekuatan partai yang ada, semakin besar suara partai, maka semakin banyak kadernya yang “diperbantukan” sang pemimpin, begitu pula sebaliknya. Akhirnya terbentuklah kepemimpinan yang “langgeng” karena disokong oleh “bemper politik” yang tebal dan kuat.

Jika telah terbentuk keadaan seperti ini, maka kewajiban kita untuk saling megingatkan dalam kebaikan menjadi bias, tercampur dengan kepentingan (kehormatan) kelompok. Lebih jauh lagi, acuan benar dan tidak bukan pada apa yang diperbuat melainkan siapa yang berbuat. Semua didasarkan pada suka dan benci terhadap kelompok, yang pada umumnya kelompok sendiri disukai dan membenci kelompok lainnya. Padalah Allah telah menyuruh kita untuk berbuat adil, sebagaimana firman-NYA :
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Maidah : 8)

Wallahu‘alam



Rujukan
Al Quran al Karim
Hadits Tarbawi. 1997. Drs. H. Abubakar Muhammad. Penerbit Karya Abditama. Surabaya
Sirah Nabawiyah: Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah saw..2002. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi. Alih Bahasa Aunur Rafiq Shaleh Tamhid Lc. Penerbit Rabbani Press. Jakarta
Al-Mustafa Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi saw. 2002. Jalaluddin Rakhmat. Penerbit Muthahhari Press.Bandung.
Muhammad Husain Haekal. Sejarah Hidup Muhammad. (dalam bentuk e-book, dengan type Help File)