Jumat, 19 Juni 2009

Mengingat Politik Lampau

Mengingat Politik Lampau

Pada jaman kemerdekaan baik sebelum dan sesudah kemerdekaan, beberapa kelompok masyarakat mulai mempersiapkan diri dalam berpolitik, apa itu dibentuk sendiri, atau bahkan dengan sponsor negara asing. Salah satu organisasi politik yang didirikan pada zaman itu adalah Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).

Disini saya coba kutipkan pendapat Nurcholis Madjid, dari buku Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya Dalam Pembangunan Di Indonesia. Menurutnya, Masyumilah yang dianggap sebagai cikal bakal munculnya kelompok konstitusionalis. Jika dikaji secara historis Masyumi ini memang unik. Mula-mula dibuat dan didirikan Jepang,-dari sinilah muncul tuduhan, khususnya yang dilontarkan kaum intelektual pendidikan Belanda, bahwa Masyumi ‘berbau Fasis- sebagai pelaksanaan strategi Jepang untuk mengambil hati umat Islam dalam perang Asia Timur Raya.

Pada November 1945 diadakan kongres umat Islam dan disepakati hendak membentuk sebuat partai Islam, nama Masyumi dipertahankan oleh “orang-orang lama” dan kaum “kolaborator” Jepang yang terdiri dari para pemimpin NU dan Muhammadiyah (tentu dengan pertimbangan interest sendiri). Namun usaha ini ditentang oleh para intelektual (berpendidikan barat), karena secara naluri mereka ini lebih senang orang Barat daripada orang Jepang, sebagaimana telah diperhitungkan Jepang sendiri.

Akan tetapi, para pemimpin Muslim “Westernized” yang berkumpul dalam PII (Pelajar Islam Indonesia) ini kalah suara, dan jadilan Masyumi nama partai Islam pertama dan satu-satunya pada zaman awal kemerdekaan. Yang menarik di sini, wadah Masyumi buatan Jepang yang bagi para intelektual (didikan barat) “berbau fasis” itu akhirnya nyaman juga terasa pada mereka, malah mereka mulai menunjukkan sikap-sikap yang tidak begitu menyenangkan bagi penghuni aslinya. NU keluar dari Masyumi, dan Muhammadiyah menyatakan berhenti sebagai “anggota istimewa”

Berkat pimpinannya yang terbaratkan itulah maka Masyumi tampil sebagai partai dengan konsep-konsep dan ide-ide politik modern serta melahirkan kaum konstitusionalis. Oleh karena itu, mereka sebenarnya adalah kaum modernis yang westernis, sama dengan kaum modernis yang westernis dari kelompok lainnya.

Dari sudut pandang keperluan pada modernisasi dan reformasi Islam dan masyarakat Indonesia, peranan masyumi itu positif, konstruktif, dan malah cukup mengagumkan. Cuma mungkin karena pengalaman traumatis berbagai kekecewaan dan kegagalan politik mereka, orang-orang Masyumi menjadi kehinggapan penyakit oposisionalisme yang agak kelewatan. Mereka juga agak kehilangan perpektif masalah-masalah lingkungannya, khususnya masalah sosial politik. Di sini juga mereka semakin kehilangan relevansi terhadap tuntutan zaman. Lebih payah lagi para pewaris sahnya telah lupa akan peranan Masyumi sebagai partai modern dan konstitusionalis, dan yang diingat hanya perjuangannya yang mengebu-gebu, namun gagal untuk mendirikan negara Islam di konstituante (secara konstitusional!).

Apakah Masyumi masih ada?entahlah, tapi yang pasti bukan lima besar pemenang Pemilu Legislatif 2009. Tapi kita harus khawatir, akan ada “Masyumi yang lain”, akan ada “NU dan Muhammadiyah yang lain” yang merasa tak nyaman lagi dengan “Masyumi yang lain”, akan ada “modernis westernis yang lain” yang kemudian lupa akan cita-cita awal “Masyumi yang lain” ini. Akhirnya, enam puluh tahun kedepan, Umat Muslim akan seperti apa? Karena inilah keadaan kita sekarang setelah lebih dari enam puluh tahun merdeka.

Rindu kami padamu ya Rasul.

Salam kasih damai untuk semua umat manusia.

Tidak ada komentar: