Sabtu, 06 Juni 2009

Cara Memandang Hutang

hutang jika didefinisikan secara sederhana adalah sesuatu yang harus segera dilunasi, dilaksanakan atau ditunaikan. Apakah sesuatu itu berupa materi (benda mati) atau berupa aktivitas. Misalnya jika seorang meminjam suatu barang seperti uang maka harus dikembalikan, dengan kata lain dilunasi, atau jika seseorang sudah berjanji maka harus ditepati, dengan kata lain dilaksanakan.

Tentunya cara pandang hutang semua manusia di dunia ini sangat beragam, dimana cara pandang hutang sangat dipengaruhi dari tradisi masyarakatnya, pola asuh keluarga, bahkan cara bagaimana ia memandang Tuhannya.

Untuk hutang berupa materi seperi uang atau modal, ada manusia yang merasa malu jika punya hutang, ada juga yang merasa biasa saja, bangga, bahkan takut. Semuanya tergantung dari konteksnya. Bisa jadi mereka yang malu, karena hutang berkorelasi positif dengan keadaan ekonomi. Semakin banyak hutang semakin tidak makmur. Bagi mereka yang biasa saja, bisa jadi mereka yang berada dalam budaya ‘hutang’, kegiatan apapun dibiayai dengan hutang, sehingga hutang menjadi hal yang umum dan lumrah. Bagi mereka yang bangga, bisa jadi menganggap semakin banyak hutang semakin menunjukkan adanya perkembangan, karena semakin banyak hutang dianggap semakin banyak aktivitas. Dan bagi mereka yang takut dalam menghadapi hutang, adalah mereka yang mengkhawatirkan tidak bisa melunasi hutangnya. Atau jika menggunakan klasifikasi lain, ada sekelompok manusia yang optimis dalam memandang hutang, dan sebaliknya merasa pesimis dengan setiap hutangnya. Mereka yang optimis memandang hutang sebagai suatu kesempatan untuk memperbaiki kehidupan, tapi mereka yang pesimis melihat hutang sekedar beban yang akan terus bertambah, dan tak akan bisa dilunasi.

Adapun hutang berupa janji untuk melakukan sesuatu, sangat memungkinkan ada persepsi yang berbeda. Ada yang merasa janji harus ditepati sebaik mungkin, sekedar ditepati, atau bahkan selalu bersikap apologi untuk membatalkan janjinya.

Ketika memiliki hutang ke pihak lain, ada yang bersikap menjauh dari pemberi hutangnya untuk menghindar dimintai melunasi (atau menunaikan) sesuatu, ada yang bersikap biasa saja, atau bahkan menghormati hingga bisa mengikuti kemauan pihak pemberi hutangnya.

Seorang anak yang merasa berhutang kepada orang tuanya ada yang membalas dengan melakukan semua permintaan semua orang tuanya, ada juga yang memutuskan untuk merawat orang tuanya yang renta dan menunda untuk berkeluarga, bahkan menjual dirinya untuk kebutuhan ekonomi orang tuanya.

Untuk hal yang sederhana saja, misal dalam berdoa, setiap anak yang mendoakan kedua orang tuanya bahkan lebih banyak memintakan untuk orang tuanya daripada dirinya sendiri. Ambil contoh, sebuah doa yang di’klaim’ doa untuk kedua orang tua. bagi seorang anak, ia memintakan ampun untuk dirinya dan orang tuanya, kemudian ia menambahan agar Allah berkenan menyayangi kedua orang tuanya sebagaimana kedua orang tuanya menyayanginya.

Dalam hubungan dengan Tuhannya, manusia pun akan berbeda dalam cara memandang hutang. Hubungam antara manusia dengan Tuhan ini lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran agama. Uniknya antara hutang dan agama ini ternyata sangat dekat dalam bentukan katanya. Itu pun jika kita kembalikan hutang dan agama ini dalam bahasa arab. Hutang dalam bahasa arab adalah dayn, sedangkan agama adalah din yang berasal dari huruf D-Y-N (dal-ya-nun).

Din bisa diartikan ketaatan, merendahkan diri, ketundukan; meyakini keesaan Allah; agama Islam; hukum, status, peraturan tertentu, sistem yang berlaku, ritual, upacara; kebiasaan, adat, cara, jalan dan lain sebagainya.

Menurut Sachiko Murata dan William C. Chittick, din memiliki makna yang membuatnua dekat dengan dayn, oleh karena itu din juga bisa diartikan pembayaran hutang, pengembalian, balasan, pembalasan, sebuah perhitungan, dan hari pembalasan.

Hubungan antara ketaatan dan hutang tidaklah sulit untuk dipahami. Jika kita kembali ke masyarakat pra-Islam(Muhammad) dimana hubungan personal merupakan segala hal. Jika ada seseorang yang meminjam uang (berhutang), maka berita ini akan sangat cepat tersebar, sehingga semua orang tahu bahwa seseorang tersebut memliki hutang. Dalam masyarakat pra-Islam(Muhammad) kata-kata atau pendapat orang lain merupakan kehormatan baginya, dan hidup tanpa kehormatan mengurangi (nilai) kemanusiaan. Oleh karena itu, jika seseorang berhutang kepada orang lain, ia harus menjaga hubungan personal dan kehormatan dirinya. bahkan kehormatan dirinya ini benar-benar harus dijaga karena berimplikasi pada kehormatan suku dan kelompoknya. Oleh karena itu orang yang berhutang akan menghormati orang yang memberinya hutang. Dalam pengerian selanjutnya, orang yang berhutang kepada orang lain berarti tunduk kepada orang tersebut.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan muslim, “Pada suatu hari kami (Umar Ra dan para sahabat Ra) duduk-duduk bersama Rasulullah Saw. Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda perjalanan. Tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah Saw. Kedua kakinya menghempit kedua kaki Rasulullah, dari kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah Saw, seraya berkata, "Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam." Lalu Rasulullah Saw menjawab, "Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu." Kemudian dia bertanya lagi, "Kini beritahu aku tentang iman." Rasulullah Saw menjawab, "Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada Qodar baik dan buruknya." Orang itu lantas berkata, "Benar. Kini beritahu aku tentang ihsan." Rasulullah berkata, "Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya walaupun anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat anda. Dia bertanya lagi, "Beritahu aku tentang Assa'ah (azab kiamat)." Rasulullah menjawab, "Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya." Kemudian dia bertanya lagi, "Beritahu aku tentang tanda-tandanya." Rasulullah menjawab, "Seorang budak wanita melahirkan nyonya besarnya. Orang-orang tanpa sandal, setengah telanjang, melarat dan penggembala unta masing-masing berlomba membangun gedung-gedung bertingkat." Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata. Lalu Rasulullah Saw bertanya kepada Umar, "Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?" Lalu aku (Umar) menjawab, "Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui." Rasulullah Saw lantas berkata, "Itulah Jibril datang untuk mengajarkan agama (din) kepada kalian." (HR. Muslim)”

Berdasarkan hadits tersebut bisa dilihat adanya keterkaitan yang mendorong bobot moral yang diberikan pada para sahabat. Seorang muslim ada baiknya melihat Islam sebagai hutang yang mereka pinjam dari Allah. Hutang adalah sesuatu yang secara moral wajib dibayar oleh mereka. Hutang mereka karena banyak nikmat yang telah diberikan, mulai dari pemberian eksistensi, kesempurnaan akal dan fisik, hingga kebahagian abadi nantinya. Oleh karena itu orang yang meminjam sesuatu dan mengingkari untuk mengembalikannya dalam hubungannya dengan Allah adalah mereka yang melalaikan agamanya.

Hadits di atas ada yang menganggap sebagai inti dari Islam itu sendiri, jika pendapat ini kita terima, artinya seorang muslim baru bisa melunasi agamanya jika ia telah bisa beriman, berislam dan berihsan.

2 komentar:

berehel mengatakan...

bagaimana cara menagih hutang yang baik dan benar?

Teddy Efendy mengatakan...

dalam konteks hubungan Tuhan dan manusia,. beribadah itu harus dilandasari syukur,.syukur akan muncul jika kita merasa dan memahami nikmat yang diberikan Tuhan..