Jumat, 25 Juli 2008

Berakhlaq Mulia Dalam Waktu Singkat,

Oleh at tighaliy

Akhlaq berasal dari bahasa Arab. Ia adalah bentuk plural dari kata khulq, yang berarti karakter dan sifat, apakah itu baik seperti kejantanan dan keberanian, ataukah buruk seperti kepengecutan dan malu. Akhlaq merupakan karakter atau sifat yang terpatri kuat pada jiwa manusia, yang dengan mudah melahirkan tindakan tanpa melalui pertimbanga pikiran. Dalam pengertian ini mencakup nilai-nilai mulia dan hina sehingga dengan demikian terdapat dua macam akhlaq, akhlaq mulia dan akhlaq tercela.
Akhlaq mulia akan melahirkan amal shaleh yang merupakan salah satu ciri dari keimanan seseorang. Amal shaleh ini merupakan buah dari keberimanan seseorang yang berlandarkan tauhid yang kuat, dimana keshalelah ini merupakan ekses dari hubungan dia dengan Tuhannya. Namun jika hubungan antara dia dengan Tuhannya tidak beres, maka akan melahirkan amal-amal buruk yang tercela. Dengan kata lain baik atau tidaknya akhlaq seseorang sangat berkorelasi dengan baik atau tidak hubungan dia dengan Tuhannya.
Adapun akhlaq yang belum sempurna akan melahirkan etika, atau sikap-sikap yang akan melahirkan tindakan-tindakan yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Sikap-sikap bentukan lingkungan ini biasanya terbentuk dalam lingkungan ketika ia masih kecil, dan memungkinkan adanya perubahan ketika berada lingkungan yang berbeda yang didasarkan motif (tidak ikhlash) dan melalui proses berfikir.
Namun tidak semua sikap-sikap bentukan ketika masih kecil ini hanya akan menghasilkan etika. Menurut Allamah Majlisi, sebagian karakter manusia itu bersifat inheren dan kodrati pada diri manusia, sebagian lain lagi bersifat aksidental yang bisa diperoleh jiwa lewat pertimbangan pikiran, usaha berulang-ulang dan pembiasaan diri. Pembiasaan tindakan yang dipengaruhi lingkungan harus dirubah secara berangsur-angsur menjadi pembiasaan tindakan yang dipengaruhi oleh keimanan khususnya setelah ia mencapai akil baligh.
Berbagai cara dan metode berusaha dicobakan untuk menghasilkan suatu generasi yang memiliki akhlaq mulia. Sistem pendidikan dengan pendekatan keagamaan telah dilakukan sejak masa kanak-kanak, misalnya dengan maraknya Taman Pendidikan AlQuran, dimana berbagai tindakan-tindakan baik mulai dibiasakan pada setiap anak. Pembiasaan ini dilanjutkan ketika anak-anak memasuki jenjang pendidikan dasar.
Namun harus selalu diingat, bahwa kebiasaan tindakan baik ini hanya akan menjadi etika ketika tidak dilandasi dengan keimanan. Oleh karena itu mendekati fase pendidikan menengah, pada umumnya memasuki usia akil baligh, pendidikan keagamaan harus ditingkatkan dan disesuaikan dengan kapasitas setiap anak. Motif atau pendorong tindakan sedikit demi sedikit harus mengalami perubahan, yang asalnya penghargaan lingkungan menjadi keridhoan Allah.
Untuk mencapai manusia yang paripurna, pemerintahpun mulai mengkombinasikan sistem pendidikan antra iptek dan imtaq, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikombinasikan dengan keimanan dan ketaqwaan. Kombinasi ini diharapkan bahwa dualisme iptek sebagai kekuatan pembangung atapun penghancur dapat dikendalikan dengan keimanan dan ketaqwaan, sehingga hanya akan didapatkan sisi positif dari teknologi. Konon seorang Albert Einstein pernah menyatakan, “The science without religion is blind, but religion without science is lame”, hal ini menyiratkan akan pentingnya agama yang mampu mendidik manusia untuk memiliki keimanan dan ketaqwaan untuk mengendalikan tali kekang iptek.
Rupanya, gagasan kombinasi iptek dan imtaq ini mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat luas, salah satunya melalui anjuran pelaksanaan kegiatan pesantren kilat atau bahkan diwajibkan disetiap sekolah. Tujuannya adalah bagaimana melahirkan siswa yang memiliki akhlaq mulia nantinya. Tidak hanya sekolahan, hampir setiap perusahaan besar pun mencoba memberikan kursus singkat agar pegawai atau pekerjanya memiliki akhlaq mulia. Konon atau sekedar konon, seorang yang memiliki akhlaq mulia memiliki potensi yang luar biasa dan memiliki produktivitas yang lebih tinggi.
Tapi usaha melahirkan manusia yang memiliki akhlaq mulia ini terkadang sedikit bergeser, atau bahkan tak terkendali. Pola pikir yang pragmatis justru menjadi penghambat utama, ketika keshalehan bertindak diinginkan terjadi secara mendadak dan cepat. Anak sekolah, mahasiswa, pegawai atau bahkan pejabar sengaja menjadi ‘santri kilat’ dalam pelatihan-pelatihan yang mencoba meningkatkan kemampuan spritual atau kemampuan ruhiah. Padahal harus menjadi catatan penting, jika sekedar menjadi ‘santri kilat’ maka keshalelahan yang dihasilkan pun besar kemungkinan menghasilkan ‘keshalehan kilat’ pula.
Pelatihan memang suskses menjadikan semua peserta didik menjadi orang yang social sense-nya tinggi, pemaaf, penderma, berkata dengan tutur kata yang lemah lembut, bebakti pada orang tua, atau bahkan rajin ibadah. Namun sadar tidak sadar, mau atau tidak diakui, fakta yang ada adalah bahwa pelatihan itu ternyata hanya menghasilkan keshalehan temporary bagi sebagian orang, dan hilang tak membekas setelah beberapa waktu.
Namun pelatihan ini memang efektif memberikan shock therapy bagi masyarakat agar lebih memahami tugas dan fungsi setiap diri manusia berada di dunia, oleh karena itu pelatihan tersebut harus mendapatkan follow up yang berkesinambungan. Baik pendidik atau peserta didik mesti menyadari bahwa keshalehan permanent bukanlah hasil dari pendidikan kilat, ataupun sesuatu yang bisa diupgrade instant dengan melompati semua tahap kedewasaan berfikir, melainkan proses panjang dari pendidikan yang berkesinambungan dan bertahap.



“sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan)”
(Q.S. Al Insyiqaaq 19 )


Astaghfirullah Al Azhim 3x
Wallahu A’lam Bish Shawab

Tidak ada komentar: