Jumat, 25 Juli 2008

ISLAMI ATAU “sekedar” MUSLIMI

Oleh at tighaliy

Islam adalah agama yang lengkap atau sempurna. Islam mengajarkan, siapapun pemeluknya, muslim, yang melaksanakan kehidupan sesuai dengan ajaran Islam akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, hampir setiap muslim akan berusaha untuk bisa memahami dan mengaplikasikan Islam dalam segala bidang kehidupan. Untuk dapat memahami Islam, kita harus menyandarkan segala sesuatu pada sumber pemahaman Islam itu sendiri. Dalam Islam, yang saya tahu, Al Quran lah sumber pemahaman utama itu, kemudian ada sumber pemahaman lainnya yaitu Sunnah nabi Muhammad saw. secara umum inilah yang kemudian dinamakan asal pemahaman itu, atau ushul fiqh. Oleh karena itu segala sesuatu yang akan kita kerjakan ada baiknya memiliki reasoning atau alasan atau acuannya. Acuan tersebut harus bersumber dari asal pemahaman itu sendiri, acuan tersebut harus bersumber dari Al Quran dan Sunnah.
Pada waktu ketika Rasulullah masih hidup, beliaulah yang dijadikan sandaran dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan kehidupan beragama. keputusan Rasulullah ini menjadi hukum, baik berupa fatwa atas suatu kejadian, putusan terhadap perselisihan, atau pun jawaban dari pertanyaan. Singkatnya, masa awal Islam, segala hukum fiqh (pemahaman) dalam kehidupan beragama khususnya, disandarkan pada hukum Allah dan Rasulnya, yang bersumber dari Al Quran dan Sunnah.
Pasca meninggalnya Rasulullah, khusunya zaman para sahabat, muncul kejadian-kejadian baru yang tidak ada pada zaman Rasulullah. Dalam keadaam urgent para sahabat melakukan ijtihad untuk memutuskan perkara, memberi fatwa, menetapkan hukum syariat dan menyandarkan pada hukum-hukum periode awal sesuai dengan hasil ijtihadnya. Pada masa ini hukum fiqh (pemahaman), disandarkan pada hukum Allah dan Rasulnya, serta fatwa sahabat dan keputusannya, yang bersumber dari Al Quran, Sunnah dan ijtihad sahabat. Harus digaris bawahi, adalah bahwa hasil ijtihad sahabat pada masa ini belum dilakukan pembukuan dan penetapan terhadap hukum yang bakal terjadi, tetapi penetapannya secara kasuistik belaka.
Periode selanjutnya, periode tabiin, dan Imam-imam mujtahid (abad ke dua dan ke tiga hijriyah), Islam semakin berkembang dan banyak orang-orang di luar Arab yang memeluk Islam. Konsekuensinya, kaum muslim mendapat masalah-masalah baru, berbagai kesulitan seperti perbedaan kemampuan berbahasa, cakupan bahasan, pandangan, gerakan pembangungan material dan spiritual, yang kesemuanya itu mendorong para imam mujtahid untuk memperluas medan ijtihad dan menetapkan hukum-hukum syara atas kasus-kasus yang terjadi, serta membuka pintu bahasan dan pandangan baru bagi mereka. semakin luaslah medan penetapan hukum-hukum fiqih, dan ditetapkan pula hukum-hukum yang mungkin terjadi dengan didasarkan pada hukum-hukum pada periode sebelumnya.
Pada periode inilah, hukum-hukum fiqih terdiri dari hukum Allah dan Rasulnya, fatwa sahabat, fatwa imam mujtahid dan hasil ijtihad mereka, yang bersumber dari Al Quran, al Sunnah, ijtihad sahabat dan ijtihad imam-imam mujtahid. Pada periode ini pula mulai dibukukan hukum-hukum syara. Hukum-hukum ini disertai dalil, alasan dan dasar umum yang menjadi pokok dari hukum tersebut.
Inilah yang harus dipahami, bahwa pasca wafatnya Rasulullah, pengambilan hukum fiqh dilakukan secara kasuistik, bahkan subjektif. Tapi sesubjekti-subjektifnya pendapat seorang sahabat, mereka memberi fatwa dan putusan hukum berdasarkan nash yang mereka pahami dengan pemahaman bahasa arab yang murni. Mereka menetapkan hukum syara berdasarkan kemampuan mereka yang tersimpan dalam jiwa mereka selama menemani Rasulullah, mengetahui sebab turunnya ayat dan atau hadis dan pengetahuan mereka tentang tujuan pembuatan hukum syara dan dasar-dasar penetapannya. Adakah yang berani menyalahkannya.
Mayoritas ulama sepakat akan dalil syara yang dijadikan landasan pengambilan hukum ada empat hal, yaitu Al Quran, al Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Namun, selain empat dalil tersebut, masih terdapat dalil syara lainnya yang masih diperselisihkan penggunaannya, yaitu al Istihsan, al Mashsalah al Mursalah, Al ‘Urf, Al Istish-haab, Syariat umat sebelum kita, dan Madzhab Shahabat
Yang juga tidak boleh dilupakan adalah, sekalipun ada kesepakatan penggunaan dalil syara, namun tidak menjamin pemahaman yang dilahirkan akan sama. Setiap ahli fiqih terkadang memiliki cara pandang yang berbeda satu sama lainnya, sehingga menghasilkan hukum syara yang berbeda. Namun yang pasti setiap ahli fiqih tersebut menyertakan ruang lingkup permasalahan, alasan dan dalil yang digunakan. Sehingga kita tidak boleh menutup mata dengan kesimpulan pemahaman hukum syara yang dihasilkan tersebut adalah kasuistik, terbatas pada ruang lingkup tertentu, dan tidak selalu mutlak bisa digunakan secara umum dengan berlebihan atau over generalization.
Inilah yang harus dilakukan untuk menghindari sikap membuta, yaitu mengetahui dasar dalil yang digunakan, batasan ruang lingkup permasalahan dalam proses kelahiran suatu kesimpulan hukum. Jika kita memiliki reasoning dalam memilih satu pemahaman, maka ketika kita bertemu dengan pemahaman yang berbeda, maka kita bisa menilai dari reasoning yang digunakan. Jika memang mau berdebat, maka perdebatan bukan pada hasil kesimpulan hukum, melainkan pada metode dan landasan dalil syara yang digunakan, cara baca dan interpretasi terhadap dalil syara tersebut, yang tentunya disertai dengan sikap toleransi tinggi.
Ketika kita mengetahui reasoning setiap interpretasi pemahaman, baik yang kita pahami ataupun yang dipahami oleh orang lain yang memiliki pemahaman berbeda, diharapkan adanya penilaian yang objektif dalam menilai benar tidaknya suatu pemahaman, tidak sekedar dari kelompok mana pemahaman tersebut berasal. Hal ini tentunya diperlukan jiwa besar untuk mau mendengar dan memperhatikan reasoning orang lain, bahkan setiap saat kita perlu menyediakan ruang hati kita yang amat luas untuk menerima kebenaran lain, kebenaran yang bukan berasal dari diri kita ataupun kelompok kita. Logisnya, satu pertanyaan harus diajukan pada setiap diri kita, apa yang membuat orang lain bertindak dan memilih suatu pemahaman? Jawabannya adalah karena setiap orang memiliki alasan. Bisa jadi ketika kita memahami alasan orang lain, kita pun akan berpindah dan memilih pemahaman orang lain. Tapi jika kita ingin teguh dengan apa yang kita pahami saat ini, ada baiknya kita membandingkan secara objektif alasan-alasan tersebut, dan kita memilih yang terbaik diantaranya.
Adanya perbedaan kapasitas setiap orang Islam, atau pun ulama Islam dalam pengambilan hukum, mau tidak mau melahirkan keragaman pemahaman syariat Islam. Keragaman pemahaman syariat islam dapat dicederai ketika muncul pihak yang memposisikan dirinya sebagai hakim atau pengambil keputusan. Pihak ini kemudian terpeleset dengan memainkan perannya secara membabi buta, dimulai dengan menilai mana yang sesuai dan mana yang tidak sesuai dengan syariat Islam yang dipahaminya. Jika penilaian telah dilakukan, maka dilanjutkan dengan penegakan hukum yang juga mengatasnamakan syariat Islam. Penegakan hukum dilakukan karena pihak ini memiliki kekuatan (yang belum tentu kewenangan secara syariat) baik kekuatan dalam bentuk pengikut yang banyak, atau karena memang pihak ini berupa lembaga resmi yang didukung pemeritah. Padahal harus diakui penilaiannya pun sebenarnya adalah interpretasinya terhadap syariat Islam itu sendiri yang merupakan bagian dari keragaman pemahaman itu sendiri.
Oleh karena itu, masyarakat harus bijak dalam menilai. Sebaiknya tidak memposisikan sebagai penilai, mana yang sesuai ataupun tidak sesuai syariat Islam, tujuannya agar masyarakat tidak terjebak dalam keber-agama-an yang emosional atau sekedar ikut-ikutan salah satu pihak yang sekedar mengatasnamakan sesuai syariat Islam. Jika tidak, maka agama tidak bisa dijadikan sebagai kekuatan konstruktif melainkan akan menjadi kekuatan desktruktif.
Masyarakat harus pandai-pandai dalam menilai sesuatu yang dikatakan Islami, bukan berarti pula menilainya sebagai kafiri, akan tetapi mesti sadar bahwa Islami merupakan label yang diberikan kepada sesuatu yang mengklaim didasarkan pada Islam, oleh karena itu dengan banyaknya interpretasi pemahaman akan syariat Islam, maka akan melahirkan Islami-Islami yang lain, yang sama-sama disandarkan pada Islam. Sekali lagi ditekankan, Jika memang akan melahirkan perbedaan, perdebatan bukan pada tataran kesimpulan hukum, melainkan pada tata cara pengambilan hukum, karena tidak mungkin perdebatan pada tataran sumber hukum (jika sama-sama mengaku Islami).
Walaupun ada sekelompok masyarakat yang kita anggap salah, maka tetaplah yakin kita berada dalam kebenaran. Namun yang tidak boleh kita lupakan adalah kewajiban kita untuk menyebarkan dan mengajarkan kebenaran itu kepada sekelompok masyarakat yang kita anggap salah tersebut. Bukankah dakwah juga kewajiban seseorang yang mengaku dirinya muslim, karena bagaimana pun setiap muslim adalah juru dakwah bagi manusia lain yang ada disekitarnya. Justru ini yang kita butuhkan, mereka yang menempatkan diri sebagai juru dakwah, bukan sebagai ‘tukang menilai’ siapa yang sesuai dan tidak sesuai syariat Islam.
Mereka yang menempatkan diri sebagai juru dakwah hendaknya menyadari, bahwa dakwah (mengajak orang lain kepada kebaikan) bukanlah sesuatu yang instant, cepat dan mudah. Juru dakwah bukanlah pegawai kantoran yang memiliki jam kerja tertentu, ataupun selebritis yang memiliki jam tayang khusus. Mungkin kita ingat, bagaiamana nabi Nuh, dengan kualitas kenabiannya, berdakwah ratusan tahun namun hanya mendapatkan pengikut sedikit. Oleh karena itu, kembali ditanyakan mentalitas mereka yang menempatkan diri sebagai juru dakwah, jika sekedar berteriak sekali dua kali, diteruskan mengancam, maka mereka merasa telah melakukan dakwah secara tuntas, sehingga merasa berhak mengadili dan memvonis sekelompok masyarakat yang dianggap salah dengan berbagai aksi kekerasan dan perusakan tempat ibadah.
Masyarakat mesti pandai-pandai menilai dan membedakan antara Islam dan orang Islam (Muslim), dan sebaiknya tidak terlalu cepat menilai, bahwa setiap yang dilakukan oleh seorang muslim adalah mutlak Islami dan yang berbeda dengannya mutlak tidak Islami, karena Islam itu sendiri memungkinkan diapresiasikan dengan bermacam bentuk, ada orang islam yang mengapresiasikan dengan jenggot, sorban, celana ngatung, atau bahkan dengan poligami, sehingga akan lahir istilah Islam Jenggot, Islam tanpa Jenggot, Islam Sorban, Islam Celana Ngatung, Islam Gamis, Islam Poligami, dll.. Apapun hasil penilaian itu, jangan pula digeneralisir, yaitu jika seorang muslim melakukan suatu perbuatan yang menurut pribadinya sesuai dengan syariat Islam (Islami) maka semua umat muslim di dunia akan melakukan hal yang sama. Semua orang Islam punya sudut pandang tertentu, tapi setiap orang Islam tersebut berupaya mengapresiasi Islam dan berusaha menghadirkan Islam kepada lingkungannya dengan sebaik-baiknya sesuai kapasitasnya masing-masing untuk mewujudkan kemaslahatan. Konon, ada kaidah yang berbunyi Asysyrai'ah kulluha mashlahah, setiap kemaslahatan adalah wujud syari'ah itu sendiri.
Oleh karena itu, jika ada seorang muslim bernama A, kemudian ketentuannya adalah setiap kegiatan seorang muslim (pemeluk Islam) langsung dinilai sebagai Islami, maka masyarakat sebaiknya harus mengikutkan label tambahan, yaitu Islami “Versi A”. Bukan bermaksud menunjukkan Islam “Versi A” sebagai ‘agama baru’, melainkan masyarakat harus bijak dalam menilai, jika tidak masyarakat akan terjebak sendiri dalam fanatisme emosional golongan islam, dan akan lebih berbahaya jika fanatisme emosional ini melahirkan doktrin “Islam Saya Yang Paling Benar”. Kalau mau jujur, siapakah yang paling berhak menilai seseorang itu Islami atau tidak, (menurut saya pribadi) hanya Allah dan Rasulnya yang memiliki otoritas itu, dan bukan manusia yang dengan fanatisme emosionalnya menilai orang lain. Hanya Allah yang tahu isi hati seseorang, termasuk mereka yang dengan fanatisme emosionalnya.
Marilah kita mulai rendah hati dan bijak dalam menilai, jika seorang muslim melaksanakan kehidupannya, maka nilailah kehidupan itu sebagai kehidupan yang ‘muslimi’, dengan kata lain islami menurut kemampuan seseorang tersebut dalam berislam. Namun jika penghargaan perbedaan kemampuan berislam telah kuat, maka (menurut saya) bolehlah setiap ‘muslimi” dinilai sebagai ‘Islami’.

Tidak ada komentar: