Jumat, 25 Juli 2008

MENGAMBIL HIKMAH DARI SEJARAH

Oleh at tighaliy

Sejarah adalah cerita (story) masa lalu, baik kejadian maupun tokoh pelaku yang terlibat di dalamnya, yang dibahasakan baik lisan maupun tulisan yang bertujuan untuk memberikan gambaran peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Sejarah memang tak akan pernah terulang, karena memang waktu tak pernah kembali, sehingga peristiwa-peristiwa yang terjadi adalah baru. Namun jangan dilupakan salah satu fungsi sejarah adalah untuk dipelajari sehingga memberikan manfaat pada masa yang akan datang, karena peristiwa-peristiwa baru tersebut terkadang memiliki pola kejadian yang identik dengan peristiwa-peristiwa yang telah menjadi sejarah. Bahkan seorang Soekarno memberikan akronim sebagai pengingat bagi kita, “JAS-MERAH”, jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Salah satu sejarah yang paling membuat menarik bagi saya adalah sejarah mengenai kehidupan Nabi Muhammad saw, yang menurut Michael H. Hart, adalah tokoh yang paling berpengaruh karena dialah satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik dilihat dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi.

Dari sekian banyak cerita kenabian, penulis juga menemukan cerita yang menurut penulis pribadi layak untuk direnungkan. Dalam Sirah Nabawiyah (Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi) diceritakan bahwa Muhammad saw memiliki pengaruh besar dalam menyelesaikan kemelut yang timbul akibat perselisihan antar kabilah tentang siapa yang berhak mendapatkan kehormatan meletakkan hajar aswad ditempatnya.

Di literatur lain, diceritakan bahwa Muhammad saw bertambah populer di kalangan penduduk Mekah setelah beliau mendamaikan pemuka-pemuka Quraisy dalam sengketa mereka memperbaharui bentuk Ka’bah. Pada permulaannya mereka nampak bersatu dan bergotong royong mengerjakan pembaharuan Ka’bah, tetapi ketika sampai kepada peletakkan batu hitam (hajar aswad) ke tempat asalnya, terjadilah perselisihan sengit antara pemuka-pemuka Quraisy. Mereka masing-masing berhak untuk mengembalikan batu suci itu ke tampat asalnya semula.

Akhirnya disepakati yang akan menjadi hakim adalah orang yang pertama datang, dan pada saat yang kritis ini, datanglah Muhammad saw yang disambut dan disetujui mereka. Maka diambillah sehelai kain dan dihamparkannya, hajar aswad diletakkannya di tengah-tengah kain itu. Kemudian disuruhnya tiap-tiap pemuka golongan quraisy bersama-sama mengangkat tepi kain ke tempat asal hajar aswad itu. Ketika sampai ke tempatnya, maka batu hitam itu diletakkan dengan tangannya sendiri ke tempatnya. Dengan demikian selesailah persengketaan itu dengan membawa kepuasan pada masing-masing golongan. Pada peristiwa ini usia nabi sudah 35 tahun (menutu Ibnu Ishaq) dan dikenal dengan nama “al amin” yang dipercaya. Menurut Muhammad Husain Haekal, keputusan Muhammad saw. ini menunjukkan betapa tingginya kedudukannya dimata penduduk Mekah, betapa besarnya penghargaan mereka kepadanya sebagai orang yang berjiwa besar.

Merupakan suatu kehormatan (sependek yang saya ketahui) bagi siapapun yang diberikan kesempatan untuk mengelola ka’bah. Pasca Qushayy, pimpinan ka’bah di teruskan oleh Abd Dar yang diteruskan oleh anak-anaknya. Namun anak-anak Abd Manaf sebenarnya mempunyai kedudukan yang lebih baik dan terpandang juga di kalangan masyarakatnya. Oleh karena itu, anak-anak Abd Manaf, yaitu Hasyim, Abd Syams, Muttalib dan Naufal sepakat akan mengambil pimpinan yang ada di tangan sepupu-sepupu mereka itu. Tetapi pihak Quraisy berselisih pendapat: yang satu membela satu golongan yang lain membela golongan yang lain lagi.

Keluarga Abd Manaf mengadakan Perjanjian Mutayyabun dengan memasukkan tangan mereka ke dalam tib, (yaitu bahan wangi-wangian) yang dibawa ke dalam Ka'bah. Mereka bersumpah takkan melanggar janji. Demikian juga pihak Keluarga Abd'd-Dar mengadakan pula Perjanjian Ahlaf: Antara kedua golongan itu hampir saja pecah perang yang akan memusnakan Quraisy, kalau tidak cepat-cepat diadakan perdamaian. Keluarga Abd Manaf diberi bagian mengurus persoalan air dan makanan, sedangkan kunci, panji dan pimpinan rapat di tangan Keluarga Abd'd-Dar. Kedua belah pihak setuju, dan keadaan itu berjalan tetap demikian, sampai pada waktu datangnya Islam. (Haekal, Sejarah Hidup Muhammad).

Ketika peristiwa pemindahan hajar aswad ini, diceritakan adanya pertentangan antar-kabilah, adanya persepakatan La'aqat'd-Dam ('Jilatan Darah'), dan menyerahkan putusan kepada barangsiapa mula-mula memasuki pintu Shafa, menunjukkan bahwa kekuasaan di Mekah sebenarnya sudah jatuh.

Bangsa arab jahiliyah merupakan bangsa yang kebanggaan akan kelompok atau kabilahnya tinggi. Hal ini sedikit dipaparkan oleh Jalaluddin Rakhmat, dalam Al-Mustafa, walau dalam konteks menghormati tamu, menjamu jemaah haji dan juga pemberian makanan, yang ternyata bukan didasari oleh rasa kasih sayang melainkan motif kehormatan kelompok, dimana orang yang paling dermawan dapat menghiasi syair-syair pujian jahiliyah. Hal ini menunjukkan kehormatan kelompok atau kabilah menjadi sesuatu yang sangat istimewa dan sangat dibanggakan.

Jika dilihat dari kesepakatan kabilah yang berseteru dalam hal siapa yang paling berhak memindahkan hajar aswad, maka Muhammad bisa saja menggunakan kesempatan ini (aji mumpung) untuk melibatkan kelompoknya untuk terlibat dalam pemindahan hajar aswad. Namun yang menarik, menurut Kurniawan Saefullah, adalah bagaimana seorang Muhammad saw bisa keluar dari kebanggan kelompoknya. Tak satupun kerabatnya ia libatkan, bahkan semua kelompok yang berselisih ia satukan, dengan secara simbolis dimana setiap pemuka kelompok memegang ujung kain yang mengangkut hajar aswad, maka setiap kelompok merasa terlibat (dan dilibatkan) dalam pemindahan batu suci tersebut. Hasilnya setiap kelompok merasa puas dengan solusi Muhammad saw ini.

Empat belas abad berlalu, semangat kesatuan yang dibawa dan diajarkan Nabi Muhammad seolah telah luntur (jika tidak mau dikatakan hilang), khususnya sebagian besar pemimpin negeri ini. Mulai dari ketua Senat Mahasiswa atau ketua BEM, walikota, gubernur, hingga ke pemimpin republik ini, presiden. Kini, justru semangat kelompoklah yang semakin di dengungkan dengan alasan demi tegaknya ideologi.

Di tingkat kampus, siapapun ketua Senat atau ketua BEM yang berkuasa, hampir bisa dipastikan kepala departemen atau bahkan hingga anggota bidangnya didominasi oleh mahasiswa-mahasiswa yang se-“paham” dengan kelompok sang ketua. Kondisi lebih ekstrim ditunjukkan ketika hanya mahasiswa-mahasiswa yang se-“paham” dengan sang ketua lah yang dapat eksis dalam pergerakan kemahasiswaan di kampus tersebut.

Dalam ruang lingkup yang lebih luas, yaitu kota, provinsi hingga negara, intrik-intrik “kesepahaman ideologi” yang diwujudkan dalam anggota partai yang sama, semakin kentara. Siapapun yang berkuasa, maka hampir bisa dipastikan kepala departemen atau menteri yang menjabat adalah dari partai yang sama dengan pemimpin. Bahkan hampir setiap proyek diserahkan pada keluarga atau klan atau juga rekan/teman yang juga dalam kelompoknya meskipun ia tak berada dalam struktural pemerintahan tanpa memperhatikan profesionalisme dan kualitas pekerjaan.

Di sisi yang lain, keluarga/klan atau kelompok dimana anggota keluarga atau kelompoknya menjadi pemangku jabatan, merasa berhak dan layak untuk ikut serta dalam jalannya kepemimpinan tersebut, atau juga menggunakan aji mumpung, untuk mendapakan kenaikan pangkat dan jabatan, tender proyek pembangungan ataupun sekedar melakukan ekspansi usaha.

Dalam Hadits Tarbawi (Drs. H. Abubakar Muhammad), Bab X Pemimpin dan Jabatan, terdapat satu hadits yang memaparkan larangan meminta jabatan bagi yang tidak mampu, demi keselamatannya di dunia dan akhirat kelak. Terjemahan hadits tersebut adalah sebagai berikut:
“Dari Abdur Rahman bin Samurah r.a., beliau berkata: Rasulullah saw. bersabda: ‘Ya Abdur Rahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan itu karena permintaanmu, maka kamu dibebani sepenuhnya. Dan jika kamu diberi jabatan itu tanpa permintaanmu, maka kamu dibantu mengatasinya’.” (Muttafaq alaih)

Bahkan demi eksistensi kelompok (dalam hal ini partai) terjadi kemajuan (jika tidak mau dikatakan kemunduran). Yang asalnya ada kompetisi antar partai, kini menjadi koalisi antar partai. Setiap pemimpin yang berkuasa berusaha menyusun “armada”nya dengan komposisi yang disesuaikan dengan kekuatan partai yang ada, semakin besar suara partai, maka semakin banyak kadernya yang “diperbantukan” sang pemimpin, begitu pula sebaliknya. Akhirnya terbentuklah kepemimpinan yang “langgeng” karena disokong oleh “bemper politik” yang tebal dan kuat.

Jika telah terbentuk keadaan seperti ini, maka kewajiban kita untuk saling megingatkan dalam kebaikan menjadi bias, tercampur dengan kepentingan (kehormatan) kelompok. Lebih jauh lagi, acuan benar dan tidak bukan pada apa yang diperbuat melainkan siapa yang berbuat. Semua didasarkan pada suka dan benci terhadap kelompok, yang pada umumnya kelompok sendiri disukai dan membenci kelompok lainnya. Padalah Allah telah menyuruh kita untuk berbuat adil, sebagaimana firman-NYA :
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Maidah : 8)

Wallahu‘alam



Rujukan
Al Quran al Karim
Hadits Tarbawi. 1997. Drs. H. Abubakar Muhammad. Penerbit Karya Abditama. Surabaya
Sirah Nabawiyah: Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah saw..2002. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi. Alih Bahasa Aunur Rafiq Shaleh Tamhid Lc. Penerbit Rabbani Press. Jakarta
Al-Mustafa Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi saw. 2002. Jalaluddin Rakhmat. Penerbit Muthahhari Press.Bandung.
Muhammad Husain Haekal. Sejarah Hidup Muhammad. (dalam bentuk e-book, dengan type Help File)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Muhammad adapah tauladan, serta sebaik - baiknya pemimpin.