Jumat, 25 Juli 2008

Doa Nabi Muhammad Yang Tertolak

Dalam sebuah hadits Qudsi yang diriwayatkan Muslim, berkata Abu Bakar bin Abu Syaibah menuturkan kepada kami: Abdullah bin Numair menuturkan kepada kami: Bapakku menuturkan kepadaku: Ustman bin Hakim menuturkan kepada kami: Amir bin Sa’d menuturkan kepadaku dari bapaknya, bahwa Rasulullah Saw datang dari satu tempat yang tinggi dan ketika beliau melewati mesjid milik bani Mu’awiyyah, beliau memasukinya dan melaksanakan shalat dua rakaat, dan kami pun shalat bersamanya. Kemudian beliau berdoa kepada Tuhannya, dengan doa yang sangat panjang, lalu beliau membalikkan badannya kepada kami dan berkata: “Aku telah memohon kepada Tuhanku tiga perkara, namun dia memberiku dua saja, dan yang satunya Dia menolaknya. Yang pertama yang aku mohonkan adalah agar Dia tidak membinasakan umatku dengan paceklik dan Dia mengabulkannya, kemudian aku memohon agar Dia tidak memusnahkan umatku dengan banjir yang menenggelamkan mereka dan Dia mengabulkannya. Dan yang terakhir aku memohon agar Dia tidak menjadikan kemalangan dan malapetaka yang menimpa mereka karena disebabkan perbuatan dari sebagian mereka, tapi Allah menolaknya”

Adapun dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, tiga permohonan tersebut adalah agar umatnya (umat nabi Muhammad) dibebaskan dari kelaparan, mencampurkan ke dalam golongan yang bertentangan, dan sebagian dari umatnya merasakan keganasan sebagian yang lainnya. Namun Allah hanya mengabulkan dua yang pertama, Allah berjanji tidak akan menimpakan kelaparan ataupun mengumpulkan (musuh-musuh umatnya) yang ada di seluruh bagian bumi ini untuk menhancurkan mereka. namun permohonan yang ketiga ditolak, sehingga mereka (umatnya) sendiri yang akan saling memusnahkan dan saling membunuh satu sama lainnya.

Adapun dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Nasai, tiga permohonan tersebut adalah, agar umatnya tidak dibinasakan dengan apa yang menimpa umat terdahulu dan Allah mengabulkannya, dan agar musuh tidak dimenangkan atas umatnya dan Allah pun mengabulkannya, dan yang terakhir agar umatnya tidak terbagi-bagi dalam berbagai golongan, namun Allah menolaknya.

Diluar kebaikan dan kasih sayang yang begitu besar dan luar biasa tulusnya, nabi Muhammad memohonkan kepada kita agar terbebas dari berbagai macam musibah, apakah musibah itu dalam bentuk paceklik, kelaparan, diserang oleh musuh, banjir ataupun berbagai macam bencana yang telah Allah kirimkan kepada umat-umat sebelum kita. Menarik untuk kita amati adalah, bagaiamana doa nabi yang tertolak, yaitu bencana yang ternyata dimulai dari dalam diri umatnya sendiri, dalam diri umat muslim itu sendiri. Yaitu tatkala umat muslim ini kemudian muncul dalam berbagai macam golongan, dan diantara mereka kemudian menjadikan pertentangan sebagai alasan untuk saling menghancurkan.

Mungkin jika munculnya golongan tersebut hanya akibat faktor geografis dan kultur atau tradisi, itu tak mengapa. Namun, jika golongan-golongan tersebut kemudian menjadikan golongan lain sebagai musuh, yang kemudian saling menyakiti, maka ceritanya menjadi lain. Hal ini akan menjadi bencana. Bukankah seorang muslim itu jika saudaranya lepas dari gangguan tangan dan lisannya.

Lalu apa yang menjadi penyebab umat Muhammad ini bisa terbagi menjadi berbagai golongan, bahkan hingga saling membinasakan. Tentunya banyak pendekatan yang bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan ini, namun sekiranya boleh, mari kita lihat bagaimana karakter utama yang menjadi cikal bakal perpecahan ini.

Karakter utama ini sebenarnya telah muncul sejak penciptaan manusia pertama, nabi Adam a.s. namun karakter utama ini sebenarnya justru bukan berasal dari nabi Adam a.s itu sendiri, melainkan dari Iblis. Iblis yang ketika itu diperintahkan untuk bersujud oleh Allah SWT. kepada Adam justru menolak perintah tersebut dengan mengatakan, “Saya lebih baik dari Adam”. Sebuah pertanyaan yang menyatakan ketakaburan, merasa diri besar, merasa diri lebih mulia, merasa diri lebih benar dari yang lainnya.

Jika karakter Iblis ini kemudian hinggap di hati manusia, maka akan ada manusia terhinggapi penyakit takabur, merasa benar sendiri, bahkan merasa mulia di hadapan Allah. Padahal Iblis sendiri justru menjadi makhluq hina ketika membuat dosa merasa lebih mulia dihadapan Allah.

Hidup berkelompok sebenarnya adalah fitrah manusia, karena manusia memang tercipta sebagai makhluq sosial. Namun jika hidup berkelompok ini kemudian telah dihinggapi karakter Iblis, maka akan muncul kelompok yang merasa lebih mulia dari kelompok lainnya. Merasa lebih mulia ini kemudian dimanifestasikan merasa yang paling benar. Merasa yang paling benar kemudian akan menyalahkan kelompok lainnya.

Sayangnya ada hal yang terlupakan, bahwa di dunia ini, manusia tidak hidup dalam satu kelompok, bahkan dalam satu keyakinan agama sekalipun. Dan kelompok-kelompok ini sangat mungkin terjangkiti penyakit yang sama, penyakit Iblis. Oleh karena itu, kelompok-kelompok yang ternyata memiliki keyakinan agama yang sama, masing-masing akan sama merasa benar dan menyalahkan lainnya.

Bahayanya, jika kelompok-kelompok ini menggunaan dalih agama dalam mendukung masing-masing pendapatnya. Alasan agama ini penting sebagai pembenaran alasan bertindak, karena bagaimana pun, setiap manusia memerlukan hal itu. Namun, ketika kedua kelompok ini kemudian terlibat dalam pertikaian fisik, maka pertikaian fisik ini pun di klaim sebagai usaha membela kebenaran. Dan dengan atas nama kebenaran itulah, sesama kelompok kemudian akan saling memusnahkan.

Memang, jika kita berfikiran pesimis, maka munculnya kelompok ataupun golongan yang saling memusnahkan ini telah menjadi ketentuan Allah, namun kita jangan lupa, Allah telah memberikan kita pilihan, karena Allah telah memberikan kita dua potensi taqwa dan fujur, apakah kita akan menjadi bagian orang yang berselisih tanpa tahu persis alasan perselisihan itu, atau menjadi bagian orang-orang yang berusaha untuk melahirkan ummatan wahidah.

Sayangnya, ummatan wahidah ini terkadang dipahami keliru yang mengharuskan umat islam berada dalam satu bendera, satu simbol keagamaan, sehingga masih saja ada sekelompok umat muslim dengan bendera tertentu yang menyatakan bahwa bendera Islamnya lah yang berada dalam kebenaran. Awalnya mereka akan mengajak baik-baik umat Islam yang berada di luar benderanya baik-baik, atau lebih tepatnya baik-baik dalam persepsi mereka sendiri. Baru satu-dua kali mereka mengajak secara lisan agar umat Islam diluar mereka untuk bergabung dalam satu bendera yang sama, namun tidak ada respon positif, lalu dilakukanlah cara yang lebih tegas. Bagi mereka jika tidak bisa diajak baik-baik, maka dilakukan dengan sedikit ketegasan, yang sekali lagi ‘sedikit tegas’ versi mereka. Lalu apa yang terjadi, sebuah tindak pemaksaan atas nama amar ma’ruf nahi mungkar, atas nama agama, atas nama Islam, atas nama Tuhan.

Bukankah Allah sendiri telah memberikan kebebasan untuk beriman ataupun kafir? Jika agama begitu penting, bukankah itu harus berasal dari keyakinan yang tulus pribadi pemeluknya? Bukankah tidak ada paksaan dalam beragama? Bukankah tidak ada paksaan untuk tidak beragama sekalipun?

Tidak beragama? Na’udzubillah..jangankan itu, beragama pun belum membebaskan seseorang dari kejahatan tangan dan lisan orang lain yang ternyata memiliki akidah yang sama. Kita lupa bahwa seorang muslim adalah ketika saudara muslim lainnya terbebas dari kejahatan tangan dan lisannya. Kita lupa, bahwa kehancuran umat ini adalah ketika sebagian umat muslim telah berani menyakiti umat muslim lainnya.

2 komentar:

berehel mengatakan...

welcome to blogosphere...

Anonim mengatakan...

elok begitu lagi drpd ditindas kafir.