Jumat, 01 Agustus 2008

Siapa Kafir Itu???

oleh at tighaliy

Menjawab pertanyaan tersebut bisa mudah bisa juga rumit, atau bahkan tak akan terjawab..sepertinya, siapa pun yang ingin menjawab tersebut menurut saya adalah orang yang sangat hebat dan tentunya memiliki ilmu yang amat luas, atau bisa jadi sekedar merasa memiliki ilmu yang amat luas, sehingga dengan gagahnya berani menempatkan diri sebagai penilai dan pengadil dalam lahan teologi.

Sebenarnya yang dikhawatirkan adalah efek dari jawaban tersebut, yang berupa fatwa atau putusan hukum akan status seseorang atau sekelompok orang yang bisa menimbulkan sikap berlebihan. Fatwa ini mengkhawatirkan, karena fakta yang tertulis dalam sejarah (sekalipun sejarah bersifat subjektif penulisnya), banyak sekali darah yang mesti mengalir sebagai efek dari fatwa peng-kafiran ini..

Yang juga harus menjadi pertanyaan adalah, adakah hak manusia untuk menjawab pertanyaan itu? jika ada, manusia yang bagaiamana kah yang boleh menjawab pertanyaan itu? dalam kedudukan apa ia boleh menjawab? Apakah kedudukan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan? Saya rasa, pertanyaan ini juga hanya bisa dijawab oleh orang yang memiliki ilmu yang amat luas, atau juga mereka yang sekedar merasa memiliki ilmu yang amat luas..

Menurut Isfahani, yang dikutip oleh Quraish Shihab, kufur (kafaro) merupakan lawan kata dari syukur (syakaro). Syukur ini bisa diartikan secara harfiah membuka, sehingga syukur mengandung arti gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan. Dengan demikian, kufur ini bisa diartikan menutup, dan atau melupakan nikmat dan menutup-nutupunya. Sependapat dengan Quraish Shihab, Toshihiko Izutsu juga mengartikan kufur sebagai sikap tidak berterima kasih. Namun Toshihiki Izutsu lebih menempatkan arti ini sebagai arti pra-Quranik. Namun setelah turunnya al-Quran, kafaro ini juga sering berada dalam satu kalimat dengan islam ataupun iman sebagai antonim, sehingga memiliki arti baru (yang biasanya dia sebut sebagai makna relasional).

Mungkin kita mesti memperhatikan, peristiwa yang menurut Afif Muhammad, Dari Teologi ke Ideologi, sebagai peristiwa pengkafiran pertama, dimana seorang muslim dikafirkan oleh sesama msulim lainnya. Seorang menantu Nabi, seseorang yang dikatakan dalam sebuah hadits sebagai kunci dari gudang ilmu dan termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk surga, Ali bin Abi Thalib dikafirkan oleh mereka yang oleh Syahrastani, Al Milal wa Al Nihal, dikelompokkan sebagai Khawarij.

Toshihiko Izutsu, dalam Konsep Kepercayaan Dalam Teologi Islam, yang menjelaskan analisis semantik iman dan Islam, menjelaskan bahwa istilah kafir yang digunakan oleh khawarij ini telah mengalami pergeseran makna. Kafir yang makna semantiknya lawan kata iman (pada masa Quranik), yaitu sebagai ‘orang yang menolak’ atau ‘orang yang tidak percaya’ diselewengkan menjadi mereka yang memiliki interpretasi atau pemahaman yang berbeda. Dalam hal ini, Khawarij telah terjebak dalam klaim sebagai kelompok paling benar.

Yang tak bisa dilupakan adalah, bahwa khawarij ini terlahir dari romantika politik saat itu (siapa yang layak menjadi khalifah). Kaum khawarij, seperti yang ditulis Syahrastani, khususnya kelompok Muhakkimah, mendasarkan pemberontakannya salah satunya pada hal mengenai imamah (kepemimpinan umat) diperbolehkan kepada orang lain selain orang quraisy, yang penting adalah seorang imam memimpin memerintah rakyat harus sesuai dengan ide-ide keadilan dan kesetaraan menurut pandangan mereka (khawarij).

Versi lainnya, khawarij terpaksa mengkafirkan Ali bin abi Thalib untuk menyelamatkan dirinya dari ancaman ayat yang menyatakan pembunuh muslim layak diganjar dengan Jahannam. Sehingga mereka mengkafirkan Ali, sehingga mereka bisa berdalih bahwa mereka tidak membunuh seorang muslim melainkan membunuh seorang kafir.. dan tentunya berbagai versi lainnya.....

Bukan maksud saya kembali menulis sejarah, karena saya pun tak tahu apa-apa, tapi mungkin kita bisa napak tilas, bagaimana umat ini menjadi tercerai berai bahkan terlibat pertikaian berdarah dengan sesama alhlul-kiblat...namun sebagai pengingat, bahwa proses pengkafiran pertama ini dimulai dengan berbedanya pendapat, dan salah satu pihak yang terlibat dalam perbedaan pendapat tersebut memainkan peran yang keluar dari koridor yang seharusnya, yaitu memainkan peran sebagai penilai, pengadil, dan pengambil tindakan (eksekusi)..

Sejenak kita kembali ke masa lalu, khusunya masa dinasti Abbasyiah,

Jadi, amat menyeramkan sekali jika, mereka yang memiliki kekuasaan dan kekuatan (yang belum tentu mendapat otoritas secara hukum Allah), kemudian mengeluarkan fatwa kafir atau tidak kafir, sesat atau tidak sesat,..apalagi jika konflik politik sedang berlangsung, maka siapapun lawan politik penguasa, keamanan dirinya amat sangat terancam, apalagi jika ‘penghilangan’ lawan politik ini mendapatkan pembenaran atas nama agama, atas nama Tuhan...

so, what the conclusion???

Tidak ada komentar: