Jumat, 01 Agustus 2008

JAS MERAH!!!

oleh at tighaliy

Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Konon atau sekedar konon itulah salah satu pesan dari seorang Soekarno, orang yang dianggap melepaskan bumi nusantara dari penjajahan negeri asing dan memasuki era kemerdekaan..kenapa konon atau sekedar konon, karena memang saya mendapatkan informasi itu dari guru sejarah waktu SMP, katanya ada di buku, dan saya nurut aja, lagian mana mungkin sih guru sejarah boong,..tapi jujur saja, mpe sekarang saya belum liat langsung tulisan itu (JAS MERAH)…

Sejarah, ya sejarah…catatan aktivitas manusia yang telah lalu dari berbagai tempat dan waktu. Dari catatan sejarah pula kita tahu pertumbuhan budaya, kebijakan para pemimpin, faktor maju mundurnya suatu bangsa dan lain-lain…mungkin karena beberapa faktor di atas lah, sejarah di mata ahli sejarah menjadi amat sangat penting.. Konon atau sekedar konon, walaupun sejarah adalah catatan aktivitas manusia yang telah lalu, namun bisa digunakan untuk kepentingan masa depan…lho begimane caranye??? Katanya sih, karena aktivitas manusia ampir mirip-mirip ama yang sebelum-sebelumnye...meneketehe…hehehe

kita bisa baca dari catatan sejarah, bagaimana sebuah negeri besar dan kuat bisa mundur kemudian hancur di awali konfik internal.. silakan di lihat di History of Arabs, Philip K Hitty, bagaimana khilafah di beberapa zaman harus carut marut akibat perebutan kekuasaan (kursi khalifah), atau kita tengok sejarah Majapahit yang harus terlena dalam pertikanan Gadjah Mada dan Hayam Wuruk..maka hebatlah pemegang imperium modern saat ini untuk mendapatkan daerah jajahan baru, daripada melakukan invasi secara frontal, lebih baik menggaet musuh internal untuk kemudian diadudombakan secara berkala sambil pembentukan opini akan pentingnya perubahan tatanan kekuasaan… ketika konflik internal telah terjadi, maka dengan mudah sang pemilik imperium menguasai negeri jajahan baru meski dengan satu lentikan jari tangan….wah..wah… hiperbola banget ya…

dengan sejarah pula kita bisa melihat seseorang mulia atau hinanya seseorang. Mulia karena dianggap telah banyak memberikan kebaikan, dan hina ketika dia memiliki komplikasi penyakit keburukan…ini bisa dilihat dari masyarakat jahiliyah (dan masih banyak di masyarakat lainnya meskipun Islam-Muhammad telah dikenal), bagaimana faktor kemuliaan keturunan telah amat kuat membentuk sistem sosial yang ada. Kemulian seseorang diturunkan tanpa kecacatan sedikit pun kepada anak-anaknya. Kemulian ini bisa ditelusuri dari mereka ahli syair yang selalu menceritakan kebaikan nenek moyangnya pada zaman jauh sebelumnya…silakan baca Toshihiko Izutsu, Konsep-konsep Etika Religius dalam Quran, untuk melihat bagaimana versi mulia atau hina orang arab jahiliyah ini..

dari sejarah pula kita bisa menikmati beberapa warisan pengetahuan, antara lain ilmu rijalul hadits, atau juga dinamakan ilmu tarikh ar-ruwwat (ilmu sejarah perawi), yaitu ilmu yang diketahui dengannya keadaan setiap perawi hadits, dari segi kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, orang yang meriwayatkan darinya, negeri dan tanah air mereka, dan yang selain dari itu yang ada hubungannya dengan sejarah perawi dan keadaan mereka…dengan ilmu ini pula dapat ditentukan, apa seseorang dengan gelar ‘sahabat’ bisa diterima atau tidak periwatannya..

itu sedikit dari fungsi sejarah, dan tentunya, sadar tidak sadar, kita pun hidup dalam sejarah, yang bisa diartikan kita pun terpengaruh dari sejarah-sejarah yang pernah kita dengar… kasus kecil yang lagi hot, yang digosok makin sip,..bagaimana kontoversinya (atau diopinikan kontroversi) gelar ‘pahlawan’ untuk Soeharto..buat mereka yang membaca sejarah, dengan cara bacanya menyatakan Soeharto itu baik, banyak jasanya, dan bermoral, maka Soerharto layak untuk mendapat gelar pahlawan. Namun bagi mereka yang membaca sejarah, dengan cara bacanya menyatakan bahwa soerhato itu jahat, jasanya adalah meninggalkan pilar kejahatan HAM dan KKN, tidak bermoral, maka pahlawan tak layak disematkan pada Soeharto, sekalipun gelar itu dari manusia..(apa lagi dari pandangan Tuhan!!!)…

melihat fungsi sejarah yang amat vital (dan juga ilmu lainnya), sekarang timbul pertanyaan. Siapakah yang menulis sejarah itu??? Apa bisa dipercaya?..dalam muqoddimah ibnu Khaldun, penulisan sejarah membutuhkan sumber yang beragam, dan pengetahuan yang bermacam-macam. Sejarah juga membutuhkan perhitungan yang tepat, dan ketekunan. Kedua sifat ini membawa sejarahwan pada kebenaran, dan menyelematkannya dari berbegai ketergelinciran dan kesalahan. Sebab apabila catatan sejarah mereka (sejarahwan) hanya didasarkan pada bentuk nulikan, dan tidak didasarkan pada pengetahuan yang jelas tentang prinsip-prinsip yang ditarik dari kebiasaan, tentang fakta=fakto poltik yang fundamental, tentang watak peradaban, dan tentang segala hal-ihwal yang terjadi dalam kehidupan sosial manusia, seta, selanjutnya, apabila sejarah tidak diperbandingkan antara materinya yang ghaib dengan materinya yang nyata, antara yang baaru dengan yang kuna, pasti akan ditemukan batu penghalang, ketergelinciran, dan kekhilafan di dalam berita sejarah tersebut.

Masih menurut ibnu khaldun, keterangan sejarah, menurut wataknya, bisa dirembesi dengan kebohongan. Faktor yang menyebabkan antara lain:

Pertama, adanya semangat terlibat (tasyayyu Ar, partisanship Ing) kepada pendapat-pendapat dan mazhab-mazhab. Apabila pikiran dalam keadaan netral dan normalnya menerima informasi, diselidikinya dan dipertimbangkannya informasi itu, sehingga ia dapat menjelaskan kebenaran yang terdapat di dalamnya. Namun, apabila pikiran dihinggapi semangat terlibat terhadap suatu pendapat dan kepercayaan, maka dengan serta merta pikiran akan menermia setia informasi yang menguntungkan pendapat atau kepercayaanya. Oleh karena itu, semangat terlibat merupakan penutup terhadap pikiran, mencegahnya untuk mengadakan kritik dan analisa, dan membuat pertimbangannya condong kepada kebohongan. Akibatnya kebohongan itu diterima dan dinukilkan.

Kedua, terlalu percaya kepada orang yang menukilkan.

Ketiga, tidak sanggup memahami maksud yang sebenarnya. Maka banyak sekali para penukil tidak mengetahui maksud sebenarnya dari observasinya, atau segala sesuatu yang ia pelajari hanya menurut pikiran dan pendengarannya saja.

Keempat, asumsi yang tak beralasan terhadap kebenaran suatu hal, ini sering sekali terjadi. Pada umumnya asumsi itu muncul dalam bentuk terlalu percaya terhadap kebenaran para penukil.

Kelima, ketidaktahuan tentang bagaiaman kondisi-kondisi sesuai dengan realitas, disebabkan kondisi-kondisi itu dimasuki oleh ambisi-ambisi dan distrosi-distorsi artifisial (penyimpangan yang dibuat-buat). Sang informan puas menukilkan seperti apa yang diliatnya, bahkan karena distorsi artfisialnya itu dia sendiri tidak mempunyai gambaran yang benar tentang kondisi-kondisi tersebut..

Keenam, adanya fakta bahwa kebanyakan orang cenderung mengambil hati orang-orang yang berpredikat besar dan orang-orang yang berkedudukan tinggi, dengan jalan memuji-muji, menyiarkan kemasyhuran , membujuk-bujuk, menganggap baik seala perbuatan mereka dan memberi tafsiran yang selalu menguntungkan terhadapt semua tindakan mereka. Hasilya informasi yang dibpublikasikan dengan cara demikian menjadi tidak jujur, dan menyimpang dari yang sebenarnya. Manusia amat senang dipuji, dan manusia pada umumnya mencari kesenangan dunia dan mencari segala jalan untuk mencapai kesengangan itu, seperti kehormatan dan kekayaan. Pada umumnya mereka tidak mencari perbuatan-perbuatan yang mulia atau mencoba mendapatkan kebaikan orang-orang yang mulia.

Ketujuh, ketidaktahuan tentang watak berbagai kondisi yang muncul dalam peradaban. Setiap peristiwa baik yang berhubungan dengan esensi maupun yang dihasilkan oleh perbuatan, pasti mempunyai watak khas untuk esensi persitiwa tersebut dan juga untuk kondisi-kondisi peristiwa yang terdapat didalamnya. Oleh karena itu, apabila si pendengar mengetahui watak peristiwa-peristiwa, dan keadaan serta syarat yang dibutuhkan di dalam dunia eksistensi, pengetahuan itu akan membantunya untuk membedakan yang benar dari yang tidak benar di dalam pemeriksaan informasi secara kritis.pengetahuan ini jauh lebih efektif dipergunakan dalam pemeriksaan informasi yang kritis dariapada aspek lain yang ada hubungannya dengan hal tersebut..

Walaupun sejarah bisa bohong, bukan berarti kita pun dengan serta merta meninggalkan setiap informasi, namun pula diingatkan untuk tidak selalu percaya secara mutlak kepada kebenaran tanpa pernah menganalisisnya dengan kritis..

Kita juga sebaiknya memberi apresiasi kepada mereka yang menamakan dirinya atau diberi nama oleh kelompok lain sebagai ingkar-sunnah, karena telah kritis dengan polemik benar tidaknya ,shahih tidaknya sunnah, walau mereka mengambil jalan untuk tidak percaya sepenuhnya kepada as-Sunnah…buat kita bukan menghakimi, tapi seharusnyalah melakukan kontak diskusi dengan mereka (ingkar-sunnah), karena ulama jaman dahulu telah memberikan jalan untuk menilai kebenaran suatu hadits, dan metode inilah yang kita perkenalkan pada mereka..

Coba kita kritisi dan telaah pendapat jalaludin rakhmat, dalam Al Mustofa, Studi Kritis Tarikh Nabi,..yang saya pahami dari cara saya membaca yang tentunya terbatas, bagaimana kondisi politik sosial yang berlangsung juga mempengaruhi penilaian benar dan tidaknya setiap hadits, layak atau tidaknya seorang perawi untuk meriwayatkan hadits…

Sejarah memang bisa bohong, tapi bukan berarti kita kemudian sekedar mengikuti pendapat ulama terkenal, atau ulama yang kita kenal secara mutlak dan serta merta menyampingkan pendapat ulama lainnya…

Sejarah memang bisa bohong, dan itulah kenapa kita harus selalu iqra’ iqra’…dan iqra’…, terus baca, kumpulkan berbagai informasi dan mengambil yang terbaik diantaranya.. apa pun hasil kesimpulan itu, tak pula menjadikan kita berhak menilai orang lain yang tak sejalan adalah salah…

Ada ungkapan yang sering dinisbahkan kepada Abu Hanifah "Hum rijal wa nahnu rijal" (mereka adalah expert, tapi kita juga expert). Ini berarti bahwa dalam tataran dialogis para ulama memposisikan level mereka ada pada level yang sama, makanya iklim dialog berlangsung terus dan dan hasilnya sangat produktif, terbukti khazanah intelektual Islam menjamur subur pada masa Islam klasik.

Sikap saling menghargai juga dapat dilihat dari ungkapan Abu Hanifah (kira2 begini)"Ra'yuna shahih yahtamilul khatha', wa ra'yukum khatha' yahtamilush shahih" (pendapat kita benar [menurut kita] tapi ada kumungkinan salah, dan pendapat mereka salah [menurut kita] tapi ada kemungkinan benar).

So, kita harus berani mulai menyisakan

Tidak ada komentar: