Jumat, 01 Agustus 2008

Sejarah mengajarkan….

oleh at tighaliy

Dalam Muqoddimah Ibnu Khaldun, secara eksplisit (setidaknya interpretasi saya), ada sebuah pertanyaan besar, bagaiamana manusia bisa memetik hikmah dari sejarah, bagaimana untuk kemudian manusia diharapkan tidak mengulangi kesalahan yang sama sehingga ikut menorehkan tinta merah (darah) dalam sejarah untuk anak-cicitnya...

Dalam al Quran, tentunya semampu saya dalam menginterpretasikan yang sebenarnya bisa dikatakan tidak mampu, amat banyak diceritakan bagaimana umat terdahulu kemudian harus menerima hukuman dari Allah SWT ketika masih di dunia, dan polanya hampir sama, tidak mau berterima kasih dengan pemberian nikmat-nikmat yang Allah berikan hingga akhirnya penolakan keterlibatan Allah dalam kehidupannya...

Namun, pernahkan kita memperhatikan sejarah yang tak pernah dicatat dengan detail oleh al Quran (sekali lagi tidak dicatat dengan detail), mungkin akan banyak energi yang harus kita habiskan untuk mau dan mencoba mencurahkan melihat sesuatu yang tak berlabelkan Islam atau memiliki simbol-sibol Islam di dalamnya, sekalipun sejarah yang tak berlabelkan Islam tersebut sebenarnya bisa memberikan kita pelajaran berharga..

Dahulu kala, ketika Eropa tak pernah berfikir untuk menerapkan sekuleristik, bagaimana kaum agama yang diwakili kaum gereja (khatolik) amat mampu mengontrol masyarakatnya yang juga warga negara yang dipimpin raja,. Norma dan etika yang dikembangkan tentunya etika ke-khatolikan. Bahkan, begitu kuatnya pengaruh gereja, hingga kekuasaan negara nyaris bisa dikatakan di bawah otoritas gereja.

Namun apa yang terjadi ketika mulai terjadi perbedaan pandangan atau pendapat di sesama umat khatolik, mulai dari ‘kompetisi’ antara gereja roma dan gereja yunani, munculnya protestan,.dan banyak kasus skiisme dalam umat nashrani lainnya..mari kita lihat yang terjadi di daratan eropa (yang menjadi basecamp nasharani), kemudian pimpinan gereja mengeluarkan maklumat perang suci, perang atas nama agama, perang atas nama tuhan, untuk memerangi saudara mereka sendiri yang memiliki pandangan atau pendapat yang berbeda dalam menafsirkan kehendak tuhan.. atas nama agama, atas nama tuhan, darah saudara sendiri tertumpahkan, bahkan menjadi dianggap benar, karena tuhan dianggap menghendakinya....

Butuh cukup waktu yang amat lama bagi masyarkat nashrani di sana untuk bisa menghilangkan ketraumaan mereka, akan ‘kesewenang-wenangan’ atas nama agama untuk justifikasi peperangan yang sudah banyak menimbulkan kengerian dan mimpi buruk,...mereka mulai menyanyakan kembali apa yang mendasari pembunuhan atas nama tuhan, benarkah alasannya bisa diterima oleh tuhan itu sendiri,..

Ketika kengerian demi kengerian mereka alami, akhirnya mereka memutuskan lompatan besar, atau kita kenal dengan renesain, (maaf kalo salah tulis) yang kemudian memutuskan untuk membatasi peranan gereja, hingga akhirnya menolak keberadaan agama untuk mengurus warga negeranya secara kolektif...

Apa mungkin umat Islam akan melakukan kesalahan yang sama, ketika setiap perbedaan kemudian disikapi dengan kekerasan atas nama tuhan? Lalu dimana orang-orang yang dengan bangga menyatakan dirinya tukang dakwah, dimana mentalitas mereka, yang hanya karena telah beramar ma’ruf (dalam versi mereka tentunya) satu atau dua kali, terus merasa berhak melakukan anarkisme bahkan atas nama tuhan pula ketika objek dakwah tidak mau mengindahkan mereka???

Sekalipun orang lain mau benar-benar kafir, bukankah Allah telah memberikan kebebasan untuk manusia seperti itu, lalu mengapa ada manusia yang merasa berhak untuk melakukan ‘penghukuman’ kepada orang lain yang dianggap kafir oleh dirinya?

Ya Rasulullah, rindu kami pada mu....

Astaghfirullah...

Astaghfirullah...

Astaghfirullah...

Wallahu a’lam bishshowab

Tidak ada komentar: